Minggu, 04 Januari 2015
BAB
II
PEMBAHASAN
2.1
Pengertian
Takhrij dan Tajdid
2.1.1
Pengertian Tajdid
Menurut paham
Muhammadiyah, tajdid mempunyai dua pengertian, ibarat dua sisi dari satu mata
uang. Pertama, mengandung pengertian purifikasi dan reformasi yaitu pembaruan
dalam pemahaman dan pengalaman ajaran islam ke arah keaslian dan kemurniannya
sesuai dengan al-Qur’an dan as-sunnah. Dalam penegertian pertama ini diterapkan
pada bidang aqidah dan ibadah mahdah.
Kedua, mengandung
pengertian modernisasi atau dinamisasi (pengembangan) dalam pemahaman dan
pengamalan ajaran islam sejalan dengan kemjuan ilmu pengetahuan dan teknologi
serta perubahan masyarakat. Pengertian yang kedua diterapkan pada masalah
muamalah duniawiyah. Tajdid dalam pengertian ini sangat diperlukan, terutama
setelah memasuki era globalisasi, karena pada era ini bangsa-bangsa di dunia
mengalami hubungan antarbudaya yang sangat kompleks.
Arti “pemurnian”
tajdid dimaksudkan sebagai pemeliharaan matan ajaran islam yang berdasarkan
pada al-Qur’an dan as-sunnah. Pada pengertian tajdid dalam arti pemurnian ini
Bernard Vlekke dan Wertheim, misalnya, mengkategorikan Muhammadiyah sebagai
gerakan puritan yang menjadikan focus utamanya “pemurnian atau pembersihan
ajaran-ajaran islam dari sinkretisme dan belenggu formalisme.
Sedang arti
“peningkatan, pengembangan, modernisasi dan yang semakna dengannya”, tajdid
dimaksudkan sebagai penafsiran pengamalan dan perwujudan ajaran islam dengan
tetap berpegang teguh kepada al-Qur’an dan as-sunnah.
Sebagai gerakan
tajdid, Muhammadiyah telah melahirkan berbagai prestasi yang mengagumkan. Di
antaranya adalah :
1. Membersihkan
islam dari pengaruh dan kebiasaan yang bukan islam.
2. Reformulasi
doktrin islam dengan pandangan alam pikiran modern
3. Reformulasi
ajaran islam dan pendidikan islam
4. Mempertahankan
islam dari pengaruh dan serangan orang di luar islam
2.1.2 Pengertian Takhrij
Takhrij menurut bahasa mempunyai
beberapa makna. Yang paling mendekati di sini adalah berasal dari kata kharaja
( خَرَجَ ) yang artinya nampak dari tempatnya, atau keadaannya, dan terpisah,
dan kelihatan. Demikian juga kata al-ikhraj ( اْلِإخْرَج ) yang artinya
menampakkan dan memperlihatkannya. Dan al-makhraj ( المَخْرَج ) artinya artinya
tempat keluar; dan akhrajal-hadits wa kharrajahu artinya menampakkan dan
memperlihatkan hadits kepada orang dengan menjelaskan tempat keluarnya.
Mahmud attahhan menjelaskan
pengertian Takrij menurut bahasa sebagai “Berkumpulnya dua perkara yang
berlawanan pada sesuatu yang satu kata”. Tahkrij sering dikatakan dalam
beberapa arti :
1. Al-Istimbat (hal mengeluarkan)
2. Al-Tadrib (hal melasih)
3. At-taujih (hal memperhadapkan)
Sedangkan tahkrij menurut istilah
berbeda-beda menurut penuturan berbagai ulama. Abd. Yuhdi Abdul Qodir
mendefenisikan takhrij sebagai “bahwa penulis menyebutkan hadis dengan sanad-sanadnya
dalam kitab-kitabnya”. Ibrohim abd. Fattah Halibah mengutib pendapat Al Manawi
tentang defenisi takhrij sebagai berikut : Mengembalikan hadis-hadis
ketempat asalnya yang ditulis oleh ulama-ulama hadis dalam kitab jawami’, sunan
dan musnad.
Sementara Mahmud at-Tahhan memberi
defenisi sebagai berikut: Menunjukkan letak hadis pada sumber aslinya yang
lengkap dengan sanad-sanadnya kemudian menjelaskan status atau kualitas hadis
jika diperlukan. Berdasarkan batasan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa Takhrij
menurut istilah adalah menunjukkan tempat hadis pada sumber aslinya yang mengeluarkan
hadis tersebut dengan sanadnya dan menjelaskan derajatnya ketika diperlukan.
Dari defenisi diatas dapat kita
lihat bahwa takhrij itu adalah menelusuri suatu hadis kesumber asalnya yaitu
kitab-kitab Jami, sunan, dan musnad kemudian jika diperlukan menyebutkan kualitas
hadis tersebut apakah sohih, hasan atau doif.
2.2 Model Takhrij dan Tajdid Muhammadiyah
2.2.1
Model Takhrij
Dalam
melaksanakan takhrij ada lima cara yang dapat dijadikan pedoman yaitu:
1.
Takhrij
menurut lafaz pertama matan hadis
2.
Takhrij
menurut lafaz-lafaz yang terdapat dalam matan
3.
Takhrij
menurut rawi pertama
4.
Takhrij
menurut tema hadis
5. Takhrij menurut status hadis
Dalam
takhrij terdapat beberapa macam metode yang diringkas dengan mengambil pokok-pokoknya
sebagai berikut :
1.
Metode
Pertama, takhrij dengan cara mengetahui perawi hadits dari sahabat. Metode ini
dikhususkan jika kita mengetahui nama sahabat yang meriwayatkan hadits, lalu
kita mencari bantuan dari tiga macam karya hadits :
·
Al-Masaanid
(musnad-musnad) : Dalam kitab ini disebutkan hadits-hadits yang diriwayatkan
oleh setiap shahabat secara tersendiri. Selama kita telah mengetahui nama
shahabat yang meriwayatkan hadits, maka kita mencari hadits tersebut dalam
kitab al-masaanid hingga mendapatkan petunjuk dalam satu musnad dari kumpulan
musnad tersebut.
·
Al-Ma’aajim
(mu’jam-mu’jam) : Susunan hadits di dalamnya berdasarkan urutan musnad para
shahabat atau syuyukh (guru-guru) atau bangsa (tempat asal) sesuai huruf kamus
(hijaiyyah). Dengan mengetahui nama shahabat dapat memudahkan untuk merujuk
haditsnya.
·
Kitab-kitab
Al-Athraf : Kebanyakan kitab-kitab al-athraf disusun berdasarkan musnad-musnad
para shahabat dengan urutan nama mereka sesuai huruf kamus. Jika seorang
peneliti mengetahui bagian dari hadits itu, maka dapat merujuk pada
sumber-sumber yang ditunjukkan oleh kitab-kitab al-athraf tadi untuk kemudian
mengambil hadits secara lengkap.
2.
Metode
Kedua, takhrij dengan mengetahui permulaan lafadh dari hadits. Cara ini dapat
dibantu dengan :
·
Kitab-kitab
yang berisi tentang hadits-hadits yang dikenal oleh orang banyak, misalnya: Ad-Durarul-Muntatsirah
fil-Ahaaditsil-Musytaharah karya As-Suyuthi;Al-Laali Al-Mantsuurah fil-Ahaaditsl-Masyhurah
karya Ibnu Hajar; Al-Maqashidul-Hasanah fii Bayaani Katsiirin minal-Ahaaditsil-Musytahirah‘alal-Alsinah
karya As-Sakhawi; Tamyiizuth-Thayyibminal-Khabits fiimaa Yaduru ‘ala
Alsinatin-Naas minal-Hadiits karya Ibnu Ad-Dabi’
Asy-Syaibani; Kasyful-Khafa wa Muziilul-Ilba‘amma Isytahara minal-Ahaadits‘ala Alsinatin-Naas
karya Al-‘Ajluni.
·
Kitab-kitab
hadits yang disusun berdasarkan urutan huruf kamus, misalnya Al-Jami’ush-Shaghiir
minal-Ahaaditsil-Basyir An-Nadzir karya As-Suyuthi.
·
Petunjuk-petunjuk
dan indeks yang disusun para ulama untuk kitab-kitab tertentu, misalnya: Miftah
Ash-Shahihain karya At-Tauqadi; Miftah At-Tartiibi li Ahaaditsi Tarikh
Al-Khathib karya Sayyid Ahmad Al-Ghumari; Al-Bughiyyah fii Tartibi Ahaaditsi
Shahih Muslim karya Muhammad Fuad Abdul-Baqi; Miftah Muwaththa’ Malik karya
Muhammad Fuad Abdul-Baqi.
3.
Metode
Ketiga, takhrij dengan cara mengetahui kata yang jarang penggunaannya oleh
orang dari bagian mana saja dari matan hadits. Metode ini dapat dibantu dengan
kitab Al-Mu’jam Al-Mufahras li Alfaadzil-Hadits An-Nabawi, berisi sembilan
kitab yang paling terkenal diantara kitab-kitab hadits, yaitu: Kutubus-Sittah,
Muwaththa’ Imam Malik, Musnad Ahmad, dan Musnad Ad-Darimi. Kitab ini disusun
oleh seorang orientalis, yaitu Dr. Vensink (meninggal 1939 M), seorang guru
bahasa Arab di Universitas Leiden Belanda; dan ikut dalam menyebarkan dan
mengedarkannya kitab ini adalah Muhammad Fuad Abdul-Baqi.
4.
Metode
Keempat, takhrij dengan cara mengetahui tema pembahasan hadits. Jika telah
diketahui tema dan objek pembahasan hadits, maka bisa dibantu dalam takhrij-nya
dengan karya-karya hadits yang disusun berdasarkan bab-bab dan judul-judul.
Cara ini banyak dibantu dengan kitab Miftah Kunuz As-Sunnah yang berisi daftar
isi hadits yang disusun berdasarkan judul-judul pembahasan. Kitab ini disusun
oleh seorang orientalis berkebangsaan Belanda yang bernama Dr. Arinjan Vensink
juga. Kitab ini mencakup daftar isi untuk 14 kitab hadits yang terkenal, yaitu:
·
Shahih
Bukhari
·
Shahih
Muslim
·
Sunan
Abu Dawud
·
Jami’
At-Tirmidzi
·
Sunan
An-Nasa’i
·
Sunan
Ibnu Majah
·
Muwaththa’
Malik
·
Musnad
Ahmad
·
Musnad
Abu Dawud Ath-Thayalisi
·
Sunan
Ad-Darimi
·
Musnad Zaid bin ‘Ali
·
Sirah
Ibnu Hisyam
·
Maghazi
Al-Waqidi
·
Thabaqat
Ibnu Sa’ad
5.
Metode
Kelima, takhrij dengan cara melalui pengamatan terhadap ciri-ciri tertentu pada
matan atau sanad. Metode ini dilihat dari ciri-ciri tertentu dalam matan maupun
sanad-nya (klasifikasi) maka akan ditemukan hadits itu berasal. Ciri-ciri yang
dimaksud adalah ciri-ciri maudhuk, ciri-ciri hadits qudsi, ciri-ciri dalam
periwayatan dengan silsilah sanad tertentu,dll.
Contoh Takhrij Hadits:
Contoh Takhrij Hadits:
Berikut ini contoh takhrij dari
kitab At-Talkhiisul-Habiir (karya Ibnu Hajar) :
Al-Hafidh Ibnu Hajar rahimahullah berkata,”Hadits ‘Ali bahwasannya Al-‘Abbas meminta kepada Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam tentang mempercepat pembayaran zakat sebelum sampai tiba haul-nya. Maka Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam memberikan keringanan untuknya. Diriwayatkan oleh Ahmad, para penyusun kitab Sunan, Al-Hakim, Ad-Daruquthni, dan Al-Baihaqi; dari hadits Al-Hajjaj bin Dinar, dari Al-Hakam, dari Hajiyah bin ‘Adi, dari ‘Ali. Dan diriwayatkan oleh At-Tirmidzi dari riwayat Israil, dari Al-Hakam, dari Hajar Al-‘Adawi, dari ‘Ali. Ad-Daruquthni menyebutkan adanya perbedaan tentang riwayat dari Al-Hakam. Dia menguatkan riwayat Manshur dari Al-Hakam dari Al-Hasan bin Muslim bin Yanaq dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam dengan derajat mursal. Begitu juga Abu Dawud menguatkannya. Al-Baihaqi berkata,”Imam Asy-Syafi’I berkata : ‘Diriwayatkan dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam bahwasannya beliau mendahulukan zakat harta Al-‘Abbas sebelum tiba masa haul (setahun), dan aku tidak mengetahui apakah ini benar atau tidak?’. Al-Baihaqi berkata,”Demikianlah riwayat hadits ini dari saya. Dan diperkuat dengan hadits Abi Al-Bakhtari dari ‘Ali, bahwasannya Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda,“Kami sedang membutuhkan lalu kami minta Al-‘Abbas untuk mendahulukan zakatnya untuk dua tahun”. Para perawinya tsiqah, hanya saja dalam sanadnya terdapat inqitha’. Dan sebagian lafadh menyatakan bahwa Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda kepada ‘Umar,”Kami pernah mempercepat harta Al-‘Abbas pada awal tahun”. Diriwayatkan oleh Abu Dawud Ath-Thayalisi dari hadits Abi Rafi’” [At-Talkhiisul-Habiir halaman 162-163]
Al-Hafidh Ibnu Hajar rahimahullah berkata,”Hadits ‘Ali bahwasannya Al-‘Abbas meminta kepada Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam tentang mempercepat pembayaran zakat sebelum sampai tiba haul-nya. Maka Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam memberikan keringanan untuknya. Diriwayatkan oleh Ahmad, para penyusun kitab Sunan, Al-Hakim, Ad-Daruquthni, dan Al-Baihaqi; dari hadits Al-Hajjaj bin Dinar, dari Al-Hakam, dari Hajiyah bin ‘Adi, dari ‘Ali. Dan diriwayatkan oleh At-Tirmidzi dari riwayat Israil, dari Al-Hakam, dari Hajar Al-‘Adawi, dari ‘Ali. Ad-Daruquthni menyebutkan adanya perbedaan tentang riwayat dari Al-Hakam. Dia menguatkan riwayat Manshur dari Al-Hakam dari Al-Hasan bin Muslim bin Yanaq dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam dengan derajat mursal. Begitu juga Abu Dawud menguatkannya. Al-Baihaqi berkata,”Imam Asy-Syafi’I berkata : ‘Diriwayatkan dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam bahwasannya beliau mendahulukan zakat harta Al-‘Abbas sebelum tiba masa haul (setahun), dan aku tidak mengetahui apakah ini benar atau tidak?’. Al-Baihaqi berkata,”Demikianlah riwayat hadits ini dari saya. Dan diperkuat dengan hadits Abi Al-Bakhtari dari ‘Ali, bahwasannya Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda,“Kami sedang membutuhkan lalu kami minta Al-‘Abbas untuk mendahulukan zakatnya untuk dua tahun”. Para perawinya tsiqah, hanya saja dalam sanadnya terdapat inqitha’. Dan sebagian lafadh menyatakan bahwa Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda kepada ‘Umar,”Kami pernah mempercepat harta Al-‘Abbas pada awal tahun”. Diriwayatkan oleh Abu Dawud Ath-Thayalisi dari hadits Abi Rafi’” [At-Talkhiisul-Habiir halaman 162-163]
2.2.2 Model Tajdid Muhammadiyah
A. Muhammadiyah
periode awal dan sebelum kemerdekaan
1.
Kepemimpinan
K. H. Ahmad Dahlan (1912 – 1923)
Periode
sebelum kemerdekaan merupakan lanjutan dari masa sebelumnya. Periode awal
Muhammadiyah di bawah pimpinan K. H. Ahmad Dahlan. Masa ini masih termasuk masa
perintisan, pembentukan jiwa dan amal usaha serta penataan organisasi.
Kondisi
umat pada saat itu sedang terbelenggu oleh takhayyul,
bid’ah, khurofat dan singkretisme. Kehidupan umat islam terbungkus dalam
sikap taqlidisme (faham taqlid),
feodalisme, konservativisme, dan tradisionalisme, yang dipandang menjadi
penyebab keterbelakangan umat islam.
Gagasan
– gagasan K. H. Ahmad Dahlan yang ingin mengajurkan agar cabang Muhammadiyah di
luar Yogyakarta memakai nama lain sehingga gagasan ini mendapat sambutan besar
dari masyarakat berbagai kota di Indonesia. Ulama – ulama dari berbagai daerah
lain berdatangan untuk menyatakan dukungan terhadap muhammadiyah. Sehingga pada
tahun 1917 Muhammadiyah mulai meluas dan berkembang.
Jasa
– jasa K. H. Ahmad Dahlan dalam membangkitkan kesadaran melalui pembaharuan
islam dan pendidikan, pemerintahan republik indonesia menobatkan K.H. Ahmad
Dahlan sebagai pahlawan nasional dengan surat keputusan presiden No. 657 Tahun
1961. Adapun dasar – dasar penerapan itu adalah:
a. K.
H. Ahmad Dahlan telah mempelopori kebangkitan umat islam untuk menyadari
nasibnya sebagai bangsa terjajah yang masih harus belajar dan berbuat.
b. Organisasi
Muhammadiyah yang didirikan telah banyak memberikan ajarn islam yang murni
kepada bangsanya, ajaran yang menuntut kemajuan, kecerdasan, dan beramal bagi
masyarakat dan umat dengan dasar iman dan islam.
c. Organisasi
Muhammadiyah telah mempelopori amal usaha sosial dan pendidikan yang amat di
perlukan bagi kebangkitan dan kemajuan bangsa dengan jiwa ajaran islam.
d. Organisasi
Muhammadiyah bagian wanita (‘Aisyiyah) telah mempelopori kebangkitan wanita
indonesia untuk mengenyam pendidikan dan berfungsi sosial setingkat dengan kaum
pria.
2.
Kepemimpinan
K. H. Ibrahim (1922 – 1934)
Menurut
catatan A. R. Fachruddin (1991), pada masa kepemimpinan K. H. Ibrahim, kegiatan
– kegiatan yang dapat menonjol adalah:
Dalam bidang pendidikan:
a. Pada
tahun 1924 K. H. Ibrahim mendirikan Fouds
Dahlan / yang bertujuan membiayai sekolah untuk anak – anak miskin.
b. Pada
tahun 1925 ia mengadakan khitanan massal.
c. Mengadakan
perbaikan badan perwakilan untuk menjodohkan putra – putri keluarga
muhammadiyah.
d. Pada
kongres muhammadiyah di solo pada tahun 1929, Muhammadiyah mendirikan Uisgeefster My. Yaitu Badan uasaha
penerbitan buku – buku sekolah Muhammadiyah yang bernaung di bawah Majelis
Taman Pustaka.
Dalam bidang dakwah:
a. Terjadi
penurunan gambar K. H. Ahmad Dahlan karena pada waktu itu ada gejalah
pengkultusan terhadap K. H. Ahmad Dahlan.
b. Semenjak
tahun 1928, diadakan pengiriman putra – putri lulusan sekolah – sekolah
Muhammadiyah (Mu’allimin, Tabligh School,
Noormalschool) keseluruh pelosok tanah air yang kemudian di kenal dengan
anak panah Muhammadiyah.
c. Pada
tahun 1932Muhammadiayah menerbitkan surat kabar (dagblaad) dan penanggung jawab dan pelaksana diserahkan kepada
pengurus cabang muhammadiyah solo, yang di kemudian hari dinamakan Adil.
d. Mendorong
gerakan dakwah Muhammadiyah serta membimbing gerakan ‘Aisyiyah untuk semakin
maju, tertib dan kuat.
e. Berhasil
meningkatkan kualitas ta’mirul masjid
(pengelolaan masjid).
f. Mondorong
berdirinya koperasi adz-Dzakirat.
3.
Kepemimpinan
K. H. Hisyam (1934 – 1936)
Kemajuan
– kemajuan yang di capai selama kepemimpinan K. H. Hisyam adalah:
a. Ketertiban
administrasi dan manajemen organisasi serta masalah pendidikan dan pengajalan
baik pendidikan agama maupun pendidikan umum.
b. Membuka
sekolah dasar 3 tahun (Folkschool)
atau sekolah desa dengan menyamai persyaratan dan kurikulum sebagaimana Folkschool Gubernemen.
c. Membuka
Vervolgschool Muhammadiyah sebagai
lanjutannya. Dengan langkah inilah akhirnya bermunculan Volkschool dan Vervolgschool Muhammadiyah
di Indonesia.
d. Ketika
pemerintahan Kolonial Belanda membuka standarschool yaitu sekolah dasar enam
tahun muhammadiyah pun mendirikan Hollands
Inlandse School met de Qur’an Muhammadiyah untuk menandingi masyarakat
Katolik yang telah mendirikan Hollands Inlandse School met de Bijbel.
e. Mengarahkan
modernisasi sekolah – sekolah Muhammadiyah sehingga selaras dengan kemajuan
pendidikan yang dicapai oleh sekolah – sekolah yang didirikan oleh Pemerintah
Kolonial.
4.
Kepemimpinan
K. H. Mas Mansyur (1937 – 1943)
Sebagai
ketua pengurus Besar Muhammadiyah hal – hal yang di capai adalah sebagai
berikut:
a. Di
berlakukannya disiplin dalam berorganisasi, sidang pengurus Besar Muhammadiyah
selalu diadakan tepat waktu, demikian juga dengan para tamu dari daerah lain.
b. Mengfungsikan
kantor sebagai tempat untuk menyelesaikan persoalan Muhammadiyah. Sebab selama
ini selalu dilaksanakan di rumah masing – masing. Hal ini karena Pengurus Besar
Muhammadiyah telah memiliki kantor sendiri beserta segenap karyawan dan
perlengkapannya.
c. Adanya
kebijakan baru yang disebut langkah Muhammadiyah 1083 – 1949, yang hal ini
terdapat 12 langkah yang dicanagkannya.
d. Mas
Mansyur tidak ragu mengambil kesimpulan tentang hukum bank, yaitu haram tetapi
diperkenankan, kemudian, dan di manfaatkan selama keadaan memaksa untuk itu.
Selain
itu, juga memprakarsai berdirinya Partai Islam Indonesia (PII) bersama Dr.
Sukiman Wiryasanjaya. Sebagai pertimbangan atas sikap nonkooperatif dari Partai
Syarikat Islam Indonesia (PSII), demikian juga ketika Jepang menguasai
Indonesia, Mas Mansyur termasuk dalam 4 tokoh nasional yang sangat
diperhitungkan dan dikenal dengan Empat Serangkai, yaitu Soekarno, Mohammad
Hatta, Ki Hajar Dewantara, dan Mas Mansyur.
5.
Muhammadiyah
Sesudah Kemerdekaan dan Masa Orde Lama
Babak baru perkembangan
Muhammadiyah ini berlangsung hingga Muhtamar tahun 1956 di Palembang. Bahkan
perkembangan Muhammadiyah pada masa ini mengalami stagnasi (kemendekan) karena
rakyat harus menghadapi Perang Pasifik yang menuntut Muhammadiyah terlibat
didalamnya demi kepentingan umat islam. Selain itu, pada masa ini para pimpinan
Muhammadiyah terlibat dalam revolusi untuk mempertahankan kemerdekaan hingga
tidak bisa berkonsentrasi memikirkan organisasi, terutama dalam gerakan dakwah
islamiyah.
Perjuangan Muhammadiyah
untuk mempertahankan kemerdekaan ini kembali terjadi saat kekuatan PKI
berencana menguasai Indonesia pada tahun 1948 dan Gerakan 30 September tahun
1965 yang cukup menguras tenaga dan fikiran Muhammadiyah.
Masa ini dikenal
sebagai masa kebangkitan Muhammadiyah. Mukhtamar Muhammadiyah ke-33 di
Palembang tahun 1965 menghasilkan khittah perjuangan yang akhirnya merumuskan
pedoman gerakan dalam berbagai dimensi. Kebangkitan untuk kembali berdakwah
lebih ditekankan pada masa ini. Berikut para pemimpin pada masa ini.
1.
Kepemimpinan
Ki Bagus Hadi Kusumo (1942 – 1953)
Ki
Bagus pernah menjadi Tabligh pada tahun 1922, ketua majlis Tarjih, anggota
Komisi MPR Hoofdestuur Muhammadiyah tahun 1926 dan ketua PP Muhammadiyah sejak
tahun 1942 – 1953. Adapun kemajuan – kemajuan yang di capai adalah:
a. Beliau
dapat merumuskan pokok – pokok pikiran Ahmad Dahlan sehingga dapat menjiwai dan
mengarahkan gerakan langkah serta perjuangan Muhammadiyah bahkan pokok – pokok
pikiran itu menjadi Muqoddimah Anggaran Dasar Muhammadiyah.
b. Menjadi
Inspirasi sejumlah tokoh Muhammadiyah lainnya seperti HAMKA, yang terinspirasi
dari Muqoddimah tersebut untuk merumuskan dua landasan idiil Muhammadiyah,
yaitu kepribadian Muhammadiyah dan Matan Keyakinan dan Cita – cita Hidup
Muhammadiyah.
2.
Kepemimpinan
Buya A. R. Sutan Mansyur (1953 – 1959)
Kemajuan – kemajuan yang dicapai pada
kepemimpinan ini adalah:
a. Pemuliahan
ruh Muhammadiyah dikalangan warga dan pimpinan semakin digiatkan dengan
memasyaratkan dua hal yaitu khasyyah
(takut pada kemurkaan Allah), merebut waktu, memenuhi janji, menanam ruh tauhid
dan mewujudkan akhlak tauhid. Kedua, mengusahakan buq’ah mubarokah (tempat yang diberkati di tempat masing – masing),
mengutamakan sholat berjamaah tepat waktu, mendidik anak beribadah dan mengaji
al-Qur’an, mengaji al-Qur’an untuk mengharap rahmat, melatih puasa Senin –
Kamis dan tanggal 13, 14, 15, bulan Islam serta tetap menghidupkan taqwa.
b. Berhasil
merumuskan khittah pada tahun 1956 – 1959 yang populer dengan khittah
Palembang.
6.
Muhammadiyah
Masa Orde Baru Sampai Reformasi
Pada
awal orde baru peran dan kiprah Muhammadiyah masih banyak dalam bidang
politik-struktural. Hal ini di karenakan terjadinya perubahan kepemimpinan dari
orde lama yang dipimpin oleh Ir Soekarno pada tahun 1968 yang di sebut awal
orde baru. Energi dakwah pada periode ini banyak terkuras untuk gerakan politik
yang dilakukan para pimpinan Muhammaduyah. Namun, setelah dilakukan evaluasi
bahwa gerakan dakwah memalui jalur politik tidak bisa mempercepat pencapaian
tujuan Muhammadiyah, maka pada tahun 1971 Muhammadiyah memberlakukan kittah
untuk tidak berpolitik yang di putuskan dalam Muktamar ke-38 di Ujung Pandang
tahun 1971.
Perkembangan
Muhammadiyah pada masa orde baru dan reformasi berlangsung cukup pesat. Kinerja
dan organisasi amal usaha Muhammadiyah berkembang secara bagus, baik dari sisi
kualitas maupun kuantitas.
Perjalanan
sejarah Muhammadiyah pada masa Orde Baru pasca Muktamar ke-44 di Jakarta dan
masa reformasi dapat dilihat dalam kiprah dan kepemimpinan Muhammadiyah, yaitu:
1. Kepemimpinan K. H. Faqih Usman
(1968 – 1971)
Kemajuan yang di
capainya adalah:
a. Beliau
pernah memimpin Majalah Bintang Islam sebagai media cetak Muhammdiyah wilayah
jawa timur.
b. Beliau
banyal terlibat dalam aktivitas politik negeri ini. Ia perna dipercaya
pemerintah RI untuk menjadi Menteri Agama pada masa kabinet Halim Perdanakusuma
tahun 1951.
c. Beliau
perna menjadi Wakil Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah pada masa kepengurusan Badawi
(1962 – 1965), ia merumuskan sebuah konsep pemikiran yang kemudian dikenak
dengan kepribadian Muhammdiyah.
2.
Kepemimpinan
Abdul Rozak Fachruddin (1971 – 1990)
Abdul
Rozak Fachruddin adalah ulama besar berwajah sejuk dan bersahaja yang lebih di
kenal dengan nama Pak AR. Kesejukannya menjadi pemimpin umat islam juga bisa
dirasakan oleh umat beragama lain, ketika beliau menyambut kunjungan Paus
Yohanne Paulus II di Yogyakarta. Ia mengkritik bahwa umat katolik banyak
menggunakan kesempatan untuk mempengaruhi umat islam yang masih menderita agar
mau masuk ke agama katolik. Umat islam di bujuk dan di rayu agar pinda agama.
Dalam tulisannya pada Uskup Yohanes Paulus II, ia mengungkapkan bahwa agama
harus disebarluaskan dengan cara – cara yang perwira dan sportif. Kritik ini
diterima dengan lapang dada oleh umat agama lain karena disampaikan dengan
lembut dan sejuk serta dijiwai denan semangat toleransi yang tinggi.
3.
Kepemimpinan
K. H. A. Azhar Basyir, MA (1990 – 1995)
Pada
masa kepemimpinannya, K. H. A. Azhar Basyir banyak memberi sumbangan pemikiran
dan kritik terhadap pemerintah. Melihat kebijakan politik pemerintah akomodatif
pada saat itu, terutama kepada umat islam, maka Muhammadiyah menyambut hal itu
dengan baik. Hal ini merupakan perhitungan politik Muhammadiyah yang matang
bukan dimaksudkan sebagai lat untuk mendapatkan kekuasaan dalam kabinet
melainkan untuk menghindarkan diri dari resiko – resiko politik yang terlampau
besar.
4.
Kepemimpinan
Prof. Dr. H. M. Amien Rais, MA (1995 – 1998)
Pada
muktamar muhammadiyah ke-42 di yogyakarta ia terpilih sebagai wakil ketua
Pimpinan Pusat Muhammadiyah dan juga di tetapkan sebagai pejabat ketua PP
Muhammadiyah pada sidang pleno di Jakarta bulan Juli 1994 berkenaan dengan
wafatnya ketua PP Muhammadiyah, yaitu Ahmad Azhar Basyir 28 Juni 1994.
Pada
tanggal 6-5 juli 1998 berlangsung sidang tanwir Muhammadiyah yang di adakan di
Semarang. Momen itu dipakai oleh Amin Rais untuk menyampaikan agenda
Muhammadiyah era pasca Soeharto yang terdiri dari agenda internal an eksternal.
Agenda Internal:
a. Menyiapkan
muktamar tahun 2000 dengan sasaran menemukan kepemimpinan yang lebih muda,
kreatif, dan kompak serta responsif menyongsung tunas-tunas muhammadiyah abad
ke-21.
b. Membina
pembibitan kader pada seluruh tingkatan, dari ranting sampai pusat.
c. Membangun
kerjasama antar ortom secara lebih rafi dan efisien.
d. Meningkatkan
kualitas dan kuantitas seluruh amal usaha muhammadiyah tetap survive.
e. Menggairahkan
semangat ber-ZIS (zakat, infak, dan shodaqoh).
Agenda Eksternal:
a. Bergabung
dengan kekuatan – kekuatan reformis untuk mewujudkan reformasi total.
b. Menjadikan
kepentingan rakyat, menjadi langkah – langkah orientasi Muhammadiyah kedepan
bukan kepentingan kekuasaan.
c. Mengibarkan
panji – panji amar ma’ruf nahi mungkar di segala bidang kehidupan sesuai dengan
kemampuan maksimal Muhammadiyah.
d. Membangun
jaringan kerjasama nasioanal dan internasioanal secara transparan.
e. Memelihara kerjasama yang baik dengan
pemerintah, termasuk ABRI/TNI, dalam rangka mencapai cita – cita proklamasi
bangsa Indonesia.
7. Muhammadiyah Pasca Reformasi dan
Muktamar ke-45 di Malang
1.
Orientasi
Gerakan
Muhammadiyah
memerluakan pembaharuan yang bersifar reformis untuk menghadapi perkembangan
kontemporer. Bagi organisasi Muhammadiyah mungkin pembaharuan (tajdid)
reformatif merupakan pilihan yang lebih realistik dari pada perubahan radikal,
terutama perubahan yang menyangkut idealisme atau nilai – nilai fundamental
dalam persayarikatan.
Pada
periode ini Muhammadiyah tidak berpolitik praktis tetapi mendukung gerakan
politik yang mengarah pada perwujudan negara yang baik dan bersih (good
gavernance dan clean gaverment). Selain itu, Muhammadiyah juga melakukan
pemberdayaan masyarakat melalui pembinaan yang bersifat mempengaruhi kebijakan
negara dengan perjualan moral untuk mewujudkan masyarakat yang utama.
2.
Kepemimpinan
Muhammadiyah Pascareformasi
Pascareformasi
yang ditandai dengan lengsernya Soeharto, Muhammadiyah dituntut untuk tetap
berpartisipasi dalam mendorong terwujudnya reformasi menyeluruh, utamanya
reformasi politik.
Adapun tongkat kepemimpinan Muhammadiyah
selanjutnya di amanakan oleh:
1.
Prof.
Dr. H. A. Syafi’i Ma’arif (1998 – 2005)
Syafi’i
Ma’arif dipilih sebagai ketua PP Muhammadiyah melalui sidang pleno Pimpinan
Pusat Muhammadiyah. Akhirnya, tongkat kepemimpinan muhammadiyah di pegang
sampai muktamar ke-44 tahun 2000 di Jakarta. Kemudian ia terpilih menjadi
Pimpinan Pusat Muhammadiyah untuk masa jabatan 2000 – 2005.
2.
Prof.
Dr. H. Din Syamsuddin (2005 – 2010)
Dalam
kepemimpinannya, beliau banyak memberi kontribusi pemikiran dan gerakan
keagamaan dan sosial. Kemudian menekankan pada orientasi sosial dan peneguhan
ideologi kader.
Selain
itu, gerakan dakwah yang dikembangkan adalah dakwah kultural, yaitu melakukan
dakwa dengan mengoptimalkan penggunaan kondisi lokal indonesia dengan menanamkan
nilai – nilai islam sesuain dengan al-Qur’an dan hadits.
Beliau
juga mempertahankan khittah politik yang telah di sepakati olaeh persyarikatan.
Muhammadiyah diteguhkan sebagai gerakan dakwah dan tidak terlibat dengan
politik praktis. Bahkan beliau juga mengatakan, pendiri PAN memang para elit
Muhammadiyah namun bukan berarti PAN milik Muhammadiyah. Tujuan menjaga jarak
dengan partai politik ini adalah agar kader Muhammadiyah lebih memperhatikan
aspek sosial dan keagamaan yang lebih penting untuk di perbaharui.
2.3 Makna Gerakan Keagamaan Muhammadiyah
Berdasarkan sejarah Muhammadiyah sejak
didirikan, latar belakang, aspirasi, motif, cita – cita, amal usaha dan
lainnya, terlihat bahwa Persyarikatan ini mempuyai ciri khas dan identitas yang
menempel pada dirinya. Berbagai ciri khas ini adalah satu kesatuan yang tidak
bisa dipisahkan antara satu dengan lainnya, dan dapat dilihat secara mudah oleh
siapa saja yang sepintas mau memperhatikannya. Identitas itu adalah
Muhammadiyah sebagai gerakan islam, sebagai gerakan dakwah amal ma’ruf nahi
mungkar, dan sebagai gerakan tajdid.
Selain itu, Muhammadiyah juga tidak
lepas dari dinamika kehidupan berbangsa dan bernegara, mulai dari zaman
penjajahan, kemerdekaan, Orde Lama, Orde Baru, hingga Orde Reformasi Kontemporer.
Dalam berbagai pengolokan yang terjadi di Republik Indonesia, Muhammadiyah
tidak tinggal diam untuk memberi kontribusi dan sumbangsih bagi kemajuan
bangsa. Keterlibatan inilah yang membuat Muhammadiyah juga identik sebagai
gerakan nasional, dan menjadi identitasnya, meski secara formal tidak di
cantumkan dalam Anggaran Dasar maupun Anggaran Rumah Tangga (ART) Muhammadiyah.
2.3.1
Muhammadiyah
sebagai Gerakan Islam
Dalam Muqoddimah AD Muhammadiyah
dinyatakan secara jelas, bahwa Persyarikatan Muhammadiyah adalah gerakan Islam
yang didirikan pada tanggal 8 Dzulhijah 1330 Hijriyah atau 18 Nopember 1912
Miladiyah. Sedangkan dalam tubuh AD-nya, Muhammadiyah menegaskan bahwa
organisasi ini berasaskan Islam, bersumber pada Al-Qur’an dan Sunnah Nabi, yang
yang gerakannya melaksanakan amal ma’ruf nahi mungkar dan tajdid, dengan maksud
dan tujuan menjunjung tinggi agama Islam sehingga terwujud masyarakat Islam
yang sebenar – benarnaya.
Sejak kelahirannya Muhammadiyah
memerankan diri sebagai Gerakan Islam, yakni gerakan yang menyebarluaskan dan
memajukan hal-ihwa agama Islam di Indonesia. Penegasan dalam Anggaran dasar dan
pertautan historis itu menunjukkan bahwa Muhammadiyah adalah organisasi yang
tidak lepas dari semangat Islam. Bahkan, kelahiran Muhammadiyah sendiri juga
tidak lepas dari pemahaman mendalam yang di lakukan oleh K.H. Ahmad dahlan
terhadap Al-Qur’an, khususnya surat Ali Imran: 104. Penelaahan inilah yang
mendorong K.H Ahmad Dahlan melakukan berbagai langka taktis dan strategi untuk
mengentaskan keterbelakangan umat Islam, dengan mendirikan Persyarikatan
Muhammadiyah
Tidak diragukan bahwa eksistensi dan
esensi Muhammadiayah sebagai gerakan Islam, bukan gerakan sosial-kemasyarakatan
semata. Gerakan kemasyarakatannya hanyalah sebagai atau fungsi transformasi
dari gerakan Islam, bukan sesuatu yang berdiri sendiri apalagi terlepas dari
gerakan Islam. Kondisi sosio-historis berdirinya Muhammadiyah tidak lain karena
diilhamu, dimotivasi, dan disemangati oleh ajaran – ajaran al-Qur’an. Motif
gerakannya tidak lain kecuali semata-mata untuk merealisasikan prinsip –
prinsip ajaran Islam dalam kehidupan nyata. Gerakanya hendak berusaha
menampilkan wajah islam dalam dinamika hidup, yang dapat dihayati, dirasakan,
dan dinikmati oleh manusia sebagai rahmatan
lil’alamin.
2.3.2
Muhammadiyah
sebagai Gerakan Dakwah
Ciri kedua dari gerakan Muhammadiyah
dikenal sebagai dakwah Islam, amar ma’ruf nahi mungkar. Ciri yang kedua ini
telah muncul sejak dari kelahirannya dan tetap melekat tak terpisahkan dalam
jati diri Muhammadiyah. Hal ini di akui ole beberapa pihak yang menyatakan
bahwa Muhammadiyah terlihat sebagai penggerakan dakwa yang menekankan
pendalaman nilai – nilai Islam dan memiliki kepedulian yang sangat besar
terhadap penetrasi misi Kristen di Indonesia.
Adapun tujuan akhir dan tujuan umum
dakwa Islam adalah sama dan sebangun dengan tujuan hidup muslim, yaitu:
1. Tujuan
vertikal: mencari keridlaan Allah SWT
2. Tujuan
historis: menyampaikan rahmat bagi seluruh alam semesta. Secara rinci, tujuan
ini dapat dijabarkan menjadi tujuan sebagai individu, anggota keluarga, warga
lingkunagan, warga bangsa, dan warga dunia.
Sedangkan menurut Abul A’al al-Maududi
sebagai mana yang di kutip Musthafa Kamal Pasya dan Ahmad Aoaby Darban, tujuan
dakwa Islamnya secara proporsional meliputi 3 sasaran, yaitu:
1. Agar
umat manusia menyembah kepada Allah, tidak akan menyekutukan-Nya dengan
sesuatu, dan tidak akan menyembah tuhan selain Allah semata – mata.
2. Agar
umat manusia bersedia menerima Islam sebagai agamanya, memurnikan keyakinannya,
hanya mengakui allah sebagai tuhannya, membersihkan jiwanya dan penyakit nifaq
(kemunafikan) dan selalu menjaga amal perbuatannya agar tidak bertentangan
dengan ajaran agama yang dianutnya.
3. Dakwah
di tujukan untuk merubah sistem pemerintahan yang zalim ke pemerintahan Islam.
Adapun objek yang dijadikan sasaran
dakwah (mad’u) Muhammadiyah ada 2
macam, yaitu:
1. Orang
yang belum Islam (umat dakwah)
Dakwah orang yang belum Islam adalah ajakan,
seruan, dan panggilan yang sifatnya menggembirakan dan menyenangkan. Cara yang
dilakukan adalah dengan menunjukkan mahasin al-Islam (keindahan Islam) melalui
tingkah laku, bukan paksaan,. Tujuan utamanya adalah agar mereka mengerti,
memahami ajaran Islam, serta mau menerima Islam sebagai agamanya.
2. Orang
yang sudah Islam (umat ijabi)
Sifat dakwah yang dilakukan kepada orang
yang sudah Islam bukan lagi bersifat ajakan untuk menerima Islam sebagai
agamanya, tetapi bersifat tajdid dalam arti pemurnian. Artinya, dakwah yang
dilakukan kepada golongan ini adalah menata kembali amal keagamaannya agar
sesuai dengan ajaran Islam yang berdasarkan al-Qur’an dan Hadits Nabi.
2.3.3
Muhammadiyah
sebagai Gerakan Tajdid
Ciri ketiga yang melekat pada
persarikatan muhammadiyah adalah sebagai gerakan tajdid atau gerakan revormasi.
Menurut paham Muhammadiyah, tajdid mempunyai dua pengertian, ibarat dua sisi
dari mata uang. Pertama, mengandung pengertian purifikasi dan reformasi: yaitu,
pembaruan dalam pemahaman dan pengalaman ajaran islam kearah keaslian dan
kemurniannya sesuai dengan al-Qur’an dan al-Sunnah al-Maqbulah. Dalam
pengertian pertama ini di terapkan pada bidang aqidah dan ibadah mahdhah.
Kedua, mengandung pengertian modernisasi
atau dinamisasi (pengembangan) dalam pemahaman dan pengamalan ajaran islam
sejalan dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi serta perubahan
masyarakat. Pengertian yang kedua di terapkan pada masalah muamalah duniawiyah.
Tajdid dalam pengertian ini sangat di perlukan. Terutama setelah memasuki era
globalisasi, karena pada era ini bangsa bangsa di dunia mengalami hubungan
antar budaya yang sangat kompleks.
Sebagai gerakan tajdid, muhammadiyah
telah melahirkan berbagai prestasi yang mengagumkan. Diantarannya adalah:
1. Membersikan
Islam dari pengaruh dan kebiasaan yang bukan Islam
2. Reformulasi
doktrin Islam dengan pandangan alam pikiran moderen
3. Reformulasi
ajaran Islam dan pendidikan Islam
4. Mempertahankan
Islam dari pengaruh dan serangan orang di luar Islam
2.3.4
Muhammadiyah
sebagai Gerakan Nasional
Pendiri organisasi K. H. Ahmad Dahlan
adalah orang yang tidak pernah menempuh pendididkan modern. Tidak heran jika
Deliar Noer langsung mencatat muhammadiyah sebagai organisasi islam yang
terpenting di indonesia ”sebelu perang dunia II dan mungkin juga sampai saat
sekarang ini”.
Sejak berdiri pada tahun 1912,
Muhammadiyah memang menjahui jalur perjuangan politik dan memilih jalur
pendidikan. Begitu muncul, Muhammadiyah segera mlakukan program pembaharuannya
dalam tiga bidang, yaitu keagamaan, kemasyarakatan, dan pendidikan. Munculnya
Muhammadiyah sebagai gerakan sosial keagamaan dalam sosial budaya waktu itu
merupakan “eksperimen sejarah” yang cukup spektakuler.
Muhammadiyah berkiprah di tengah –
tengah masyarakat bangsa indonesia dengan membangun berbagai amal usaha yang
benar – benar dapat menyentuh hajat orang banyak, seperti berbagai ragam
lembaga pendidikan dari sejak kelompok bermain, taman kanak – kanak, hingga
perguruan tinggi, juga sekian banyak lembaaga kesehatan dan pelayanan sosial,
seperti rumah sakit, panti asuhan dan sebagainya. Seluruh amal usaha
Muhammadiyah tidak lain merupakan manifestasi atau perwujudan dakwa islamiyah.
Semua amal usaha diadakan dengan niat dan tujuan yang tunggal, yaitu untuk
dijadikan sarana dan wahana dakwah islam sebagaimana yang diajarkan oleh
Al-Quran dan As-Sunnah Shahihah.
2.4
Gerakan
Tajdid Pada 100 Tahun Kedua
Tantangan yang
dihadapi Muhammadiyah pada abad pertama usianya pasti berbeda dari
abad kedua usianya, meskipun kontinuitasnya antara keduanya tetap ada. Untuk
itu, Paradigma, Model, dan Strategi Tajdidnya juga harus disesuaikan dengan
perkembangan terbaru discourse keislaman
baik dalam teori maupun praktek.
Muhammadiyah
harus melakukan upaya pembaharuan from within, yang meliputi strategi
pembaharuan gerakan pendidikan yang selama ini digelutinya, mengenal dengan
baik dan mendalam metode dan pendekatan kontemporer terhadap studi Islam dan
Keislaman era klasik dan lebih-lebih era kontemporer, mendekatkan dan
mendialogkan Islamic Studies dan Religious Studies, bersikap
inklusif terhadap perkembangan pengalaman dan keilmuan generasi mudanya,
terbuka, mengenalkan dialog antar budaya dan agama di akar rumput,
memahami Cross-cultural
Values dan multikulturalitas, dalam bingkai fikih NKRI, dan
begitu seterusnya.
Tanpa menempuh
langkah-langkah tersebut, gerakan pembaharuan Islam menuju ke arah terwujudnya
Masyarakat dan Peradaban Utama di tanah air ini, tentu akan mengalami kesulitan
bernapas dan kekurangan oksigen untuk menghirup dan merespon isu-isu
sosial-keagamaan global dan isu-isu peradaban Islam kontemporer.
Untuk konteks
keindonesiaan, Ikon perjoangan meraih “Islam yang berkemajoean” sepertinya
tetap menarik untuk diperbincangkan dan didiskusikan sepanjang masa. Dengan
begitu kontinuitas dan kesinambungan perjoangan antara generasi abad pertama
dan generasi penerus abad kedua masih terpelihara, sebagaimana dicanangkan dan
dipesankan oleh founding fathers Muhammadiyah terdahulu.
Dalam
memasuki fase kedua gerakannya, yakni memasuki abad kedua perjalanan sejarah
Muhammadiyah, sudah tinggi waktu dan kesempatan untuk melakukan pembaruan
paradigma tajdid di tubuh persyarikatan ini. Kodifikasi dan konsensus tajdid
yang terpadu atau eklektik antara purifikasi dan dinamisasi dapat menjadi titik
tolak bagi transformasi paradigma tajdid Muhammadiyah. Selain tidak akan
terjebak pada ekstrimitas yang radikal baik ke arah “radikal kiri” maupun
“radikal kanan” dalam pemikiran Islam, transformasi tajdid yang bercorak
purifikasi dan dinamisasi sekaligus memberikan jalan keluar atau solusi untuk
melakukan rancang bangun tajdid jilid kedua bagi Muhammadiyah saat ini dan ke
depan dalam usianya yang memasuki satu abad menuju era baru abad berikutnya.
Dalam transformasi orientasi tajdidnya,
Muhammadiyah di satu pihak tidak terjebak pada pemurnian semata minus
pembaruan, sebaliknya pembaruan tanpa peneguhan, sehingga terdapat ruang untuk
transformasi atau perubahan secara seimbang antara pemurnian dan pengembangan
atau antara peneguhan dan pencerahan. Namun paradigma dan strategi yang
eklektik atau tengahan seperti itu jika dibiarkan sekadar normatif belaka
maka hanya akan indah di ranah teori atau klaim tetapi sering tidak aktual atau
mewujud dalam kenyataan secara jelas dan tegas. Jika tanpa rancang-bangun yang
jelas tajdid purifikasi dan dinamisasi bahkan dapat melahirkan kecenderungan
kehilangan dua-duanya, yakni tidak pemurnian sekaligus tidak pembaruan. Di
sinilah pentingnya transformasi paradigmatik dalam orientasi
tanjdid purifikasi plus dinamisasi atau dinamisasi plus purifikasi dalam
gerakan Muhammadiyah.
Dalam penyusunan rancang-bangun paradigma tajdid
yang integratif atau eklektik antara purifikasi dan dinamisasi, Muhammadiyah
diperlukan penyusunan agenda-agenda strategis yang sifatnya menyusun ulang
bangunan konseptual yang selama ini telah dimiliki Muhammadiyah dengan
keberanian untuk mengambil keputusan tanpa sering terjebak pada sikap mauquf.
Jika sejumlah hal mauquf terus maka akan ada kevakuman atau stagnasi dalam
gerakan, kendati sikap kehati-hatian itu tetap diperlukan. Namun hati-hati
terus menerus tanpa berani mengambil keputusan maka akan menjadi agenda yang
tidak berkesudahan, padahal Muhammadiyah harus terus bergerak menghadapi masalah-masalah
dan tantangan-tantangan baru. Dua materi strategis dapat diselesaikan dalam
Muhammadiyah menyangkut fondasi pemikiran yang fundamental dalam gerakan Islam
ini.
Pertama, menyelesaikan atau memulai kembali penyusunan
buku Risalah Islamiyah yang berisi tentang Islam dalam berbagai aspeknya yang
menjadi pandangan resmi Muhammadiyah. Tanpa memiliki pandangan yang substantif
dan komprehensif mengenai Islam maka akan sering terjadi tarik-menarik
pandangan dalam Muhammadiyah mengenai hal-hal yang fundamental mengenai
aspek-aspek ajaran Islam. Materi dalam al-Masail al-Khamsah (Masalah
Lima) mengenai mâ hua al-din (apa itu agama), Matan Keyakinan
dan Cita-Cita Hidup Muhammadiyah, Pedoman Hidup Islami Warga Muhammadiyah, dan
berbagai rumusan resmi lainnya dapat menjadi dasar bagi perumusan Risalah Islam
dalam pandangan Muhammadiyah. Dalam Risalah Islam itu dibahas dan dijelaskan
pula secara komprehensif mengenai pandangan Islam tentang perempuan, sehingga
menghasilkan pandangan yang substantif, mendalam, dan luas dari
Muhammadiyah.
Perumusan dan elaborasi Risalah Islam yang
komprehensif sekaligus dapat menjadi jawaban atas keperluan Muhammadiyah untuk
memberi substansi atas slogan al-ruju’ ila al-Quran wa al-Sunnah sebagaimana
selama satu abad perjalanannya telah menjadi ikon sekaligus tema gerakan yang
nyaring. Warga Muhammadiyah memerlukan pengetahuan yang luas dan mendalam
mengenai isi dan metodologi tentang apa, kenapa, dan bagaimana caranya harus
Kembali kepada Al-Quran dan As-Sunnah (yang maqbulah). Jika Muhammadiyah telah
meneguhkan dirinya sebagai Gerakan Islam, maka Islam yang seperti apa yang
diyakini, dipahami, dan diamalkan oleh Muhammadiyah. Pokok-pokok pikiran
tentang Islam sebagaimana terkandung dalam al-Masail al-Khamsah, Matan
Keyakinan dan Cita-cita Hidup Muhammadiyah, Pedoman Hidup Islami Warga
Muhammadiyah, dan sebagainya merupakan materi awal dan pokok untuk kepentingan
perumusan dan penyusunan Risalah Islam tersebut. Umat Islam lain dan pihak luar
juga dapat memiliki rujukan yang jelas apa dan bagaimana sebenarnya pandangan
Muhammadiyah tentang Islam yang bersifat komprehensif.
Kedua, mengembangkan konsep secara tuntas dan luas
tentang Manhaj Tarjih mengenai tiga pendekatan dalam memahami Islam yaitu
bayani, burhani, dan irfani. Pengembangan yang bersifat elaborasi terhadap
manhaj tarjih tersebut sangat diperlukan untuk memperluas cakrawala metodologis
dalam pengembangan pemikiran Islam di lingkungan Muhammadiyah. Dengan paradigma
purifikasi dan dinamisasi maka pengembangan atau elaborasi pendekatan bayani,
burhani, dan irfani akan menghasilkan konstruksi metodologis yang jelas dan
luas dari manhaj tarjih. Jangan biarkan di antarea warga Muhammadiyah terjebak
pada logika saling sesat-menyesatkan tanpa ilmu hanya karena kehilangan
pegangan dan perspektif mengenai metodologi pemikiran Islam yang dipedomani
dalam Muhammadiyah.
Elaborasi metodologi bayani, burhani, dan irfani
juga diperukan agar diperoleh pedoman yang jelas sekaligus menyelesaikan
kontroversi pada masing-masing pendekatan. Ketiga pendekatan yang bersifat
integratif tersebut (bayani, burhani, irfani) sebenarnya dapat memecahkan atau
merupakan jalan keluar dari kebuntuan atau ekstrimitas yang selama ini menjadi
bagian yang dianggap krusial dalam dunia pemikiran Muhammadiyah antara garis
ekstrem kelompok radikal-tekstual versus radikal-kontekstual atau kategori lain
yang sejenis yang saling berlawanan secara diametral. Langkah yang diperlukan
ialah pertama melakukan teoritisasi di mana ketiga pendekatan tersebut ditarik
ke level epistemologi agar manhaj Tarjih, Tajdid, dan Pemikiran Islam dalam
Muhammadiyah memiliki bangunan epistemologis yang kokoh dan berada dalam
paradigma perspektivisme (banyak perspektif, tidak tunggal) baik yang
terintegrasi dengan ilmu-ilmu Islam klasik maupun kontemporer. Kedua, elaborasi
metodologis, yakni menurunkan kerangka berpikir pada ketiga pendekatan tersebut
ke dalam berbagai cara berpikir (metode) yang lebih detail terutama ketika
menjelaskan dimensi-dimensi ajaran Islam seperti aqidah, ibadah, akhlak, dan
mu’amalat-dunyawiyah pada tataran praksis. Dengan demikian diperoleh perspektif
pengembangan pemikiran Islam yang komprehensif dan memiliki landasan yang kokoh
dalam ajaran Islam.
Ketiga, mengagendakan tajdid di bidang dakwah,
organisasi, amal usaha, pengembangan kader dan anggota, dan berbagai model aksi
gerakan agar Muhammadiyah tampil menjadi gerakan Islam yang unggul dan bergerak
di garis depan dalam dinamika kehidupan umat, bangsa, dan perkembangan global.
Modsel modernis-reformis perlu dikembangkan menjadi model transformatif yang
lebih dinamis, kaya pemikiran, dan langsung ke jantung persoalan-persoalan struktural
dan kultural dalam mencari solusi atas masalah-masalah yang terjadi dalam
masyarakat. Muhammadiyah dengan seluruh komponen dan lini organisasinya tidak
cukup memadai hanya bertahan dengan strategi dan model gerakan seperti sekarang
ini, yang cenderung formalistik, rutin, dan bertahan dengan status-quo yang
dimiliki. Muhammadiyah sebagai organisasi dituntut untuk tampil lebih reformis,
produktif, emansipatoris, dan partisipatoris di tengah lalulintas dinamika
gerakan-gerakan keagamaan dan gerakan-gerakan sosial-kemasyarakatan yang
semakin kompetitif saat ini. Muhammadiyah bahkan perlu memiliki militansi
yang lebih kuat agar kebesaran dirinya tidak kalah lincah dan dinamis dari
gerakan-gerakan lain di negeri ini, yang dalam bahasa Pak AR Fakhruddin (Allahu
yarham) tidak menjadi gajah bengkak yang besar tetapi lambat bergerak.
BAB
III
PENUTUP
3.1
Simpulan
Tajdid
mengandung pengertian purifikasi dan reformasi yaitu pembaruan dalam pemahaman
dan pengalaman ajaran islam ke arah keaslian dan kemurniannya sesuai dengan
al-Qur’an dan as-sunnah. Kedua, mengandung pengertian modernisasi atau
dinamisasi (pengembangan) dalam pemahaman dan pengamalan ajaran islam sejalan
dengan kemjuan ilmu pengetahuan dan teknologi serta perubahan masyarakat.
takhrij adalah menelusuri suatu
hadis kesumber asalnya yaitu kitab-kitab Jami, sunan, dan musnad kemudian jika
diperlukan menyebutkan kualitas hadis tersebut apakah sohih, hasan atau doif.
Dalam
melaksanakan takhrij ada lima cara yang dapat dijadikan pedoman yaitu:
1.
Takhrij
menurut lafaz pertama matan hadis
2.
Takhrij
menurut lafaz-lafaz yang terdapat dalam matan
3.
Takhrij
menurut rawi pertama
4.
Takhrij
menurut tema hadis
5. Takhrij menurut status hadis
Warga Muhammadiyah memerlukan pengetahuan yang luas dan
mendalam mengenai isi dan metodologi tentang apa, kenapa, dan bagaimana caranya
harus Kembali kepada Al-Quran dan As-Sunnah (yang maqbulah). Jika Muhammadiyah
telah meneguhkan dirinya sebagai Gerakan Islam, maka Islam yang seperti apa
yang diyakini, dipahami, dan diamalkan oleh Muhammadiyah. Pokok-pokok pikiran
tentang Islam sebagaimana terkandung dalam al-Masail al-Khamsah, Matan
Keyakinan dan Cita-cita Hidup Muhammadiyah, Pedoman Hidup Islami Warga
Muhammadiyah, dan sebagainya merupakan materi awal dan pokok untuk kepentingan
perumusan dan penyusunan Risalah Islam tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
Hasyim,
Umar. 1990. Muhammadiyah Jalan Lurus
dalam Tajdid, Dakwah, Kaderisasi dan Pendidikan (Kritik dan Terapinya).
Surabaya: PT. Bina Ilmu.
Djarir,
Ibnu, Revitalisasi Gerakan Tajdid.
Semarang: Harian Suara Merdeka, Edisi Kamis, 16 Nopember 2006. Hhtp:// www.suaramerdeka.com/ harian/ 0611/ 16/ opi03.htm.
Jainuri,
Achmad, Ideologi Kaum Reformis.
Surabaya : Lembaga Pengkajian Agama dan Masyarakat, 2002.
Label: KULIAH
Subscribe to:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar