Minggu, 04 Januari 2015

Makalah Takhrij dan Tajdid


BAB II
PEMBAHASAN

2.1    Pengertian Takhrij dan Tajdid
2.1.1 Pengertian Tajdid
Menurut paham Muhammadiyah, tajdid mempunyai dua pengertian, ibarat dua sisi dari satu mata uang. Pertama, mengandung pengertian purifikasi dan reformasi yaitu pembaruan dalam pemahaman dan pengalaman ajaran islam ke arah keaslian dan kemurniannya sesuai dengan al-Qur’an dan as-sunnah. Dalam penegertian pertama ini diterapkan pada bidang aqidah dan ibadah mahdah.
Kedua, mengandung pengertian modernisasi atau dinamisasi (pengembangan) dalam pemahaman dan pengamalan ajaran islam sejalan dengan kemjuan ilmu pengetahuan dan teknologi serta perubahan masyarakat. Pengertian yang kedua diterapkan pada masalah muamalah duniawiyah. Tajdid dalam pengertian ini sangat diperlukan, terutama setelah memasuki era globalisasi, karena pada era ini bangsa-bangsa di dunia mengalami hubungan antarbudaya yang sangat kompleks.
Arti “pemurnian” tajdid dimaksudkan sebagai pemeliharaan matan ajaran islam yang berdasarkan pada al-Qur’an dan as-sunnah. Pada pengertian tajdid dalam arti pemurnian ini Bernard Vlekke dan Wertheim, misalnya, mengkategorikan Muhammadiyah sebagai gerakan puritan yang menjadikan focus utamanya “pemurnian atau pembersihan ajaran-ajaran islam dari sinkretisme dan belenggu formalisme.
Sedang arti “peningkatan, pengembangan, modernisasi dan yang semakna dengannya”, tajdid dimaksudkan sebagai penafsiran pengamalan dan perwujudan ajaran islam dengan tetap berpegang teguh kepada al-Qur’an dan as-sunnah.
Sebagai gerakan tajdid, Muhammadiyah telah melahirkan berbagai prestasi yang mengagumkan. Di antaranya adalah :
1.    Membersihkan islam dari pengaruh dan kebiasaan yang bukan islam.
2.    Reformulasi doktrin islam dengan pandangan alam pikiran modern
3.    Reformulasi ajaran islam dan pendidikan islam
4.    Mempertahankan islam dari pengaruh dan serangan orang di luar islam



2.1.2 Pengertian Takhrij
Takhrij menurut bahasa mempunyai beberapa makna. Yang paling mendekati di sini adalah berasal dari kata kharaja ( خَرَجَ ) yang artinya nampak dari tempatnya, atau keadaannya, dan terpisah, dan kelihatan. Demikian juga kata al-ikhraj ( اْلِإخْرَج ) yang artinya menampakkan dan memperlihatkannya. Dan al-makhraj ( المَخْرَج ) artinya artinya tempat keluar; dan akhrajal-hadits wa kharrajahu artinya menampakkan dan memperlihatkan hadits kepada orang dengan menjelaskan tempat keluarnya.
Mahmud attahhan menjelaskan pengertian Takrij menurut bahasa sebagai “Berkumpulnya dua perkara yang berlawanan pada sesuatu yang satu kata”. Tahkrij sering dikatakan dalam beberapa arti :
1.    Al-Istimbat (hal mengeluarkan)
2.     Al-Tadrib (hal melasih)
3.    At-taujih (hal memperhadapkan)
Sedangkan tahkrij menurut istilah berbeda-beda menurut penuturan berbagai ulama. Abd. Yuhdi Abdul Qodir mendefenisikan takhrij sebagai “bahwa penulis menyebutkan hadis dengan sanad-sanadnya dalam kitab-kitabnya”. Ibrohim abd. Fattah Halibah mengutib pendapat Al Manawi tentang defenisi takhrij sebagai berikut : Mengembalikan hadis-hadis ketempat asalnya yang ditulis oleh ulama-ulama hadis dalam kitab jawami’, sunan dan musnad.
Sementara Mahmud at-Tahhan memberi defenisi sebagai berikut: Menunjukkan letak hadis pada sumber aslinya yang lengkap dengan sanad-sanadnya kemudian menjelaskan status atau kualitas hadis jika diperlukan. Berdasarkan batasan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa Takhrij menurut istilah adalah menunjukkan tempat hadis pada sumber aslinya yang mengeluarkan hadis tersebut dengan sanadnya dan menjelaskan derajatnya ketika diperlukan.
Dari defenisi diatas dapat kita lihat bahwa takhrij itu adalah menelusuri suatu hadis kesumber asalnya yaitu kitab-kitab Jami, sunan, dan musnad kemudian jika diperlukan menyebutkan kualitas hadis tersebut apakah sohih, hasan atau doif.


2.2  Model Takhrij dan Tajdid Muhammadiyah
2.2.1 Model Takhrij
          Dalam melaksanakan takhrij ada lima cara yang dapat dijadikan pedoman yaitu:
1.    Takhrij menurut lafaz pertama matan hadis
2.    Takhrij menurut lafaz-lafaz yang terdapat dalam matan 
3.    Takhrij menurut rawi pertama
4.    Takhrij menurut tema hadis
5.    Takhrij menurut status hadis
          Dalam takhrij terdapat beberapa macam metode yang diringkas dengan mengambil pokok-pokoknya sebagai berikut :
1.    Metode Pertama, takhrij dengan cara mengetahui perawi hadits dari sahabat. Metode ini dikhususkan jika kita mengetahui nama sahabat yang meriwayatkan hadits, lalu kita mencari bantuan dari tiga macam karya hadits :
·      Al-Masaanid (musnad-musnad) : Dalam kitab ini disebutkan hadits-hadits yang diriwayatkan oleh setiap shahabat secara tersendiri. Selama kita telah mengetahui nama shahabat yang meriwayatkan hadits, maka kita mencari hadits tersebut dalam kitab al-masaanid hingga mendapatkan petunjuk dalam satu musnad dari kumpulan musnad tersebut.
·      Al-Ma’aajim (mu’jam-mu’jam) : Susunan hadits di dalamnya berdasarkan urutan musnad para shahabat atau syuyukh (guru-guru) atau bangsa (tempat asal) sesuai huruf kamus (hijaiyyah). Dengan mengetahui nama shahabat dapat memudahkan untuk merujuk haditsnya.
·      Kitab-kitab Al-Athraf : Kebanyakan kitab-kitab al-athraf disusun berdasarkan musnad-musnad para shahabat dengan urutan nama mereka sesuai huruf kamus. Jika seorang peneliti mengetahui bagian dari hadits itu, maka dapat merujuk pada sumber-sumber yang ditunjukkan oleh kitab-kitab al-athraf tadi untuk kemudian mengambil hadits secara lengkap.
2.    Metode Kedua, takhrij dengan mengetahui permulaan lafadh dari hadits. Cara ini dapat dibantu dengan :
·      Kitab-kitab yang berisi tentang hadits-hadits yang dikenal oleh orang banyak, misalnya: Ad-Durarul-Muntatsirah fil-Ahaaditsil-Musytaharah karya As-Suyuthi;Al-Laali Al-Mantsuurah fil-Ahaaditsl-Masyhurah karya Ibnu Hajar; Al-Maqashidul-Hasanah fii Bayaani Katsiirin minal-Ahaaditsil-Musytahirah‘alal-Alsinah karya As-Sakhawi; Tamyiizuth-Thayyibminal-Khabits fiimaa Yaduru ‘ala Alsinatin-Naas minal-Hadiits     karya Ibnu Ad-Dabi’ Asy-Syaibani; Kasyful-Khafa wa Muziilul-Ilba‘amma Isytahara minal-Ahaadits‘ala Alsinatin-Naas karya Al-‘Ajluni.
·      Kitab-kitab hadits yang disusun berdasarkan urutan huruf kamus, misalnya Al-Jami’ush-Shaghiir minal-Ahaaditsil-Basyir An-Nadzir karya As-Suyuthi.
·      Petunjuk-petunjuk dan indeks yang disusun para ulama untuk kitab-kitab tertentu, misalnya: Miftah Ash-Shahihain karya At-Tauqadi; Miftah At-Tartiibi li Ahaaditsi Tarikh Al-Khathib karya Sayyid Ahmad Al-Ghumari; Al-Bughiyyah fii Tartibi Ahaaditsi Shahih Muslim karya Muhammad Fuad Abdul-Baqi; Miftah Muwaththa’ Malik karya Muhammad Fuad Abdul-Baqi.
3.    Metode Ketiga, takhrij dengan cara mengetahui kata yang jarang penggunaannya oleh orang dari bagian mana saja dari matan hadits. Metode ini dapat dibantu dengan kitab Al-Mu’jam Al-Mufahras li Alfaadzil-Hadits An-Nabawi, berisi sembilan kitab yang paling terkenal diantara kitab-kitab hadits, yaitu: Kutubus-Sittah, Muwaththa’ Imam Malik, Musnad Ahmad, dan Musnad Ad-Darimi. Kitab ini disusun oleh seorang orientalis, yaitu Dr. Vensink (meninggal 1939 M), seorang guru bahasa Arab di Universitas Leiden Belanda; dan ikut dalam menyebarkan dan mengedarkannya kitab ini adalah Muhammad Fuad Abdul-Baqi.
4.    Metode Keempat, takhrij dengan cara mengetahui tema pembahasan hadits. Jika telah diketahui tema dan objek pembahasan hadits, maka bisa dibantu dalam takhrij-nya dengan karya-karya hadits yang disusun berdasarkan bab-bab dan judul-judul. Cara ini banyak dibantu dengan kitab Miftah Kunuz As-Sunnah yang berisi daftar isi hadits yang disusun berdasarkan judul-judul pembahasan. Kitab ini disusun oleh seorang orientalis berkebangsaan Belanda yang bernama Dr. Arinjan Vensink juga. Kitab ini mencakup daftar isi untuk 14 kitab hadits yang terkenal, yaitu:
·      Shahih Bukhari
·      Shahih Muslim
·      Sunan Abu Dawud
·      Jami’ At-Tirmidzi
·      Sunan An-Nasa’i
·      Sunan Ibnu Majah
·      Muwaththa’ Malik
·      Musnad Ahmad
·      Musnad Abu Dawud Ath-Thayalisi
·      Sunan Ad-Darimi
·       Musnad Zaid bin ‘Ali
·      Sirah Ibnu Hisyam
·      Maghazi Al-Waqidi
·      Thabaqat Ibnu Sa’ad
5.    Metode Kelima, takhrij dengan cara melalui pengamatan terhadap ciri-ciri tertentu pada matan atau sanad. Metode ini dilihat dari ciri-ciri tertentu dalam matan maupun sanad-nya (klasifikasi) maka akan ditemukan hadits itu berasal. Ciri-ciri yang dimaksud adalah ciri-ciri maudhuk, ciri-ciri hadits qudsi, ciri-ciri dalam periwayatan dengan silsilah sanad tertentu,dll.
Contoh Takhrij Hadits:
Berikut ini contoh takhrij dari kitab At-Talkhiisul-Habiir (karya Ibnu Hajar) :
Al-Hafidh Ibnu Hajar rahimahullah berkata,”Hadits ‘Ali bahwasannya Al-‘Abbas meminta kepada Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam tentang mempercepat pembayaran zakat sebelum sampai tiba haul-nya. Maka Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam memberikan keringanan untuknya. Diriwayatkan oleh Ahmad, para penyusun kitab Sunan, Al-Hakim, Ad-Daruquthni, dan Al-Baihaqi; dari hadits Al-Hajjaj bin Dinar, dari Al-Hakam, dari Hajiyah bin ‘Adi, dari ‘Ali. Dan diriwayatkan oleh At-Tirmidzi dari riwayat Israil, dari Al-Hakam, dari Hajar Al-‘Adawi, dari ‘Ali. Ad-Daruquthni menyebutkan adanya perbedaan tentang riwayat dari Al-Hakam. Dia menguatkan riwayat Manshur dari Al-Hakam dari Al-Hasan bin Muslim bin Yanaq dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam dengan derajat mursal. Begitu juga Abu Dawud menguatkannya. Al-Baihaqi berkata,”Imam Asy-Syafi’I berkata : ‘Diriwayatkan dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam bahwasannya beliau mendahulukan zakat harta Al-‘Abbas sebelum tiba masa haul (setahun), dan aku tidak mengetahui apakah ini benar atau tidak?’. Al-Baihaqi berkata,”Demikianlah riwayat hadits ini dari saya. Dan diperkuat dengan hadits Abi Al-Bakhtari dari ‘Ali, bahwasannya Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda,“Kami sedang membutuhkan lalu kami minta Al-‘Abbas untuk mendahulukan zakatnya untuk dua tahun”. Para perawinya tsiqah, hanya saja dalam sanadnya terdapat inqitha’. Dan sebagian lafadh menyatakan bahwa Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda kepada ‘Umar,”Kami pernah mempercepat harta Al-‘Abbas pada awal tahun”. Diriwayatkan oleh Abu Dawud Ath-Thayalisi dari hadits Abi Rafi’” [At-Talkhiisul-Habiir halaman 162-163]
2.2.2  Model Tajdid Muhammadiyah
A.    Muhammadiyah periode awal dan sebelum kemerdekaan
1.      Kepemimpinan K. H. Ahmad Dahlan (1912 – 1923)
Periode sebelum kemerdekaan merupakan lanjutan dari masa sebelumnya. Periode awal Muhammadiyah di bawah pimpinan K. H. Ahmad Dahlan. Masa ini masih termasuk masa perintisan, pembentukan jiwa dan amal usaha serta penataan organisasi.
Kondisi umat pada saat itu sedang terbelenggu oleh takhayyul, bid’ah, khurofat dan singkretisme. Kehidupan umat islam terbungkus dalam sikap taqlidisme (faham taqlid), feodalisme, konservativisme, dan tradisionalisme, yang dipandang menjadi penyebab keterbelakangan umat islam.
Gagasan – gagasan K. H. Ahmad Dahlan yang ingin mengajurkan agar cabang Muhammadiyah di luar Yogyakarta memakai nama lain sehingga gagasan ini mendapat sambutan besar dari masyarakat berbagai kota di Indonesia. Ulama – ulama dari berbagai daerah lain berdatangan untuk menyatakan dukungan terhadap muhammadiyah. Sehingga pada tahun 1917 Muhammadiyah mulai meluas dan berkembang.
Jasa – jasa K. H. Ahmad Dahlan dalam membangkitkan kesadaran melalui pembaharuan islam dan pendidikan, pemerintahan republik indonesia menobatkan K.H. Ahmad Dahlan sebagai pahlawan nasional dengan surat keputusan presiden No. 657 Tahun 1961. Adapun dasar – dasar penerapan itu adalah:
a.    K. H. Ahmad Dahlan telah mempelopori kebangkitan umat islam untuk menyadari nasibnya sebagai bangsa terjajah yang masih harus belajar dan berbuat.
b.    Organisasi Muhammadiyah yang didirikan telah banyak memberikan ajarn islam yang murni kepada bangsanya, ajaran yang menuntut kemajuan, kecerdasan, dan beramal bagi masyarakat dan umat dengan dasar iman dan islam.
c.    Organisasi Muhammadiyah telah mempelopori amal usaha sosial dan pendidikan yang amat di perlukan bagi kebangkitan dan kemajuan bangsa dengan jiwa ajaran islam.
d.   Organisasi Muhammadiyah bagian wanita (‘Aisyiyah) telah mempelopori kebangkitan wanita indonesia untuk mengenyam pendidikan dan berfungsi sosial setingkat dengan kaum pria.
2.      Kepemimpinan K. H. Ibrahim (1922 – 1934)
Menurut catatan A. R. Fachruddin (1991), pada masa kepemimpinan K. H. Ibrahim, kegiatan – kegiatan yang dapat menonjol adalah:
Dalam bidang pendidikan:
a.    Pada tahun 1924 K. H. Ibrahim mendirikan Fouds Dahlan / yang bertujuan membiayai sekolah untuk anak – anak miskin.
b.    Pada tahun 1925 ia mengadakan khitanan massal.
c.    Mengadakan perbaikan badan perwakilan untuk menjodohkan putra – putri keluarga muhammadiyah.
d.   Pada kongres muhammadiyah di solo pada tahun 1929, Muhammadiyah mendirikan Uisgeefster My. Yaitu Badan uasaha penerbitan buku – buku sekolah Muhammadiyah yang bernaung di bawah Majelis Taman Pustaka.
Dalam bidang dakwah:
a.    Terjadi penurunan gambar K. H. Ahmad Dahlan karena pada waktu itu ada gejalah pengkultusan terhadap K. H. Ahmad Dahlan.
b.    Semenjak tahun 1928, diadakan pengiriman putra – putri lulusan sekolah – sekolah Muhammadiyah (Mu’allimin, Tabligh School, Noormalschool) keseluruh pelosok tanah air yang kemudian di kenal dengan anak panah Muhammadiyah.
c.    Pada tahun 1932Muhammadiayah menerbitkan surat kabar (dagblaad) dan penanggung jawab dan pelaksana diserahkan kepada pengurus cabang muhammadiyah solo, yang di kemudian hari dinamakan Adil.
d.   Mendorong gerakan dakwah Muhammadiyah serta membimbing gerakan ‘Aisyiyah untuk semakin maju, tertib dan kuat.
e.    Berhasil meningkatkan kualitas ta’mirul masjid (pengelolaan masjid).
f.     Mondorong berdirinya koperasi adz-Dzakirat.
3.      Kepemimpinan K. H. Hisyam (1934 – 1936)
Kemajuan – kemajuan yang di capai selama kepemimpinan K. H. Hisyam adalah:
a.    Ketertiban administrasi dan manajemen organisasi serta masalah pendidikan dan pengajalan baik pendidikan agama maupun pendidikan umum.
b.    Membuka sekolah dasar 3 tahun (Folkschool) atau sekolah desa dengan menyamai persyaratan dan kurikulum sebagaimana Folkschool Gubernemen.
c.    Membuka Vervolgschool Muhammadiyah sebagai lanjutannya. Dengan langkah inilah akhirnya bermunculan Volkschool dan Vervolgschool Muhammadiyah di Indonesia.
d.   Ketika pemerintahan Kolonial Belanda membuka standarschool yaitu sekolah dasar enam tahun muhammadiyah pun mendirikan Hollands Inlandse School met de Qur’an Muhammadiyah untuk menandingi masyarakat Katolik yang telah mendirikan  Hollands Inlandse School met de Bijbel.
e.    Mengarahkan modernisasi sekolah – sekolah Muhammadiyah sehingga selaras dengan kemajuan pendidikan yang dicapai oleh sekolah – sekolah yang didirikan oleh Pemerintah Kolonial.
4.      Kepemimpinan K. H. Mas Mansyur (1937 – 1943)
Sebagai ketua pengurus Besar Muhammadiyah hal – hal yang di capai adalah sebagai berikut:
a.    Di berlakukannya disiplin dalam berorganisasi, sidang pengurus Besar Muhammadiyah selalu diadakan tepat waktu, demikian juga dengan para tamu dari daerah lain.
b.    Mengfungsikan kantor sebagai tempat untuk menyelesaikan persoalan Muhammadiyah. Sebab selama ini selalu dilaksanakan di rumah masing – masing. Hal ini karena Pengurus Besar Muhammadiyah telah memiliki kantor sendiri beserta segenap karyawan dan perlengkapannya.
c.    Adanya kebijakan baru yang disebut langkah Muhammadiyah 1083 – 1949, yang hal ini terdapat 12 langkah yang dicanagkannya.
d.   Mas Mansyur tidak ragu mengambil kesimpulan tentang hukum bank, yaitu haram tetapi diperkenankan, kemudian, dan di manfaatkan selama keadaan memaksa untuk itu.
Selain itu, juga memprakarsai berdirinya Partai Islam Indonesia (PII) bersama Dr. Sukiman Wiryasanjaya. Sebagai pertimbangan atas sikap nonkooperatif dari Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII), demikian juga ketika Jepang menguasai Indonesia, Mas Mansyur termasuk dalam 4 tokoh nasional yang sangat diperhitungkan dan dikenal dengan Empat Serangkai, yaitu Soekarno, Mohammad Hatta, Ki Hajar Dewantara, dan Mas Mansyur.

5.      Muhammadiyah Sesudah Kemerdekaan dan Masa Orde Lama
Babak baru perkembangan Muhammadiyah ini berlangsung hingga Muhtamar tahun 1956 di Palembang. Bahkan perkembangan Muhammadiyah pada masa ini mengalami stagnasi (kemendekan) karena rakyat harus menghadapi Perang Pasifik yang menuntut Muhammadiyah terlibat didalamnya demi kepentingan umat islam. Selain itu, pada masa ini para pimpinan Muhammadiyah terlibat dalam revolusi untuk mempertahankan kemerdekaan hingga tidak bisa berkonsentrasi memikirkan organisasi, terutama dalam gerakan dakwah islamiyah.
Perjuangan Muhammadiyah untuk mempertahankan kemerdekaan ini kembali terjadi saat kekuatan PKI berencana menguasai Indonesia pada tahun 1948 dan Gerakan 30 September tahun 1965 yang cukup menguras tenaga dan fikiran Muhammadiyah.
Masa ini dikenal sebagai masa kebangkitan Muhammadiyah. Mukhtamar Muhammadiyah ke-33 di Palembang tahun 1965 menghasilkan khittah perjuangan yang akhirnya merumuskan pedoman gerakan dalam berbagai dimensi. Kebangkitan untuk kembali berdakwah lebih ditekankan pada masa ini. Berikut para pemimpin pada masa ini.
1.      Kepemimpinan Ki Bagus Hadi Kusumo (1942 – 1953)
Ki Bagus pernah menjadi Tabligh pada tahun 1922, ketua majlis Tarjih, anggota Komisi MPR Hoofdestuur Muhammadiyah tahun 1926 dan ketua PP Muhammadiyah sejak tahun 1942 – 1953. Adapun kemajuan – kemajuan yang di capai adalah:
a.    Beliau dapat merumuskan pokok – pokok pikiran Ahmad Dahlan sehingga dapat menjiwai dan mengarahkan gerakan langkah serta perjuangan Muhammadiyah bahkan pokok – pokok pikiran itu menjadi Muqoddimah Anggaran Dasar Muhammadiyah.
b.    Menjadi Inspirasi sejumlah tokoh Muhammadiyah lainnya seperti HAMKA, yang terinspirasi dari Muqoddimah tersebut untuk merumuskan dua landasan idiil Muhammadiyah, yaitu kepribadian Muhammadiyah dan Matan Keyakinan dan Cita – cita Hidup Muhammadiyah.
2.      Kepemimpinan Buya A. R. Sutan Mansyur (1953 – 1959)
Kemajuan – kemajuan yang dicapai pada kepemimpinan ini adalah:
a.    Pemuliahan ruh Muhammadiyah dikalangan warga dan pimpinan semakin digiatkan dengan memasyaratkan dua hal yaitu khasyyah (takut pada kemurkaan Allah), merebut waktu, memenuhi janji, menanam ruh tauhid dan mewujudkan akhlak tauhid. Kedua, mengusahakan buq’ah mubarokah (tempat yang diberkati di tempat masing – masing), mengutamakan sholat berjamaah tepat waktu, mendidik anak beribadah dan mengaji al-Qur’an, mengaji al-Qur’an untuk mengharap rahmat, melatih puasa Senin – Kamis dan tanggal 13, 14, 15, bulan Islam serta tetap menghidupkan taqwa.
b.    Berhasil merumuskan khittah pada tahun 1956 – 1959 yang populer dengan khittah Palembang.
6.      Muhammadiyah Masa Orde Baru Sampai Reformasi
Pada awal orde baru peran dan kiprah Muhammadiyah masih banyak dalam bidang politik-struktural. Hal ini di karenakan terjadinya perubahan kepemimpinan dari orde lama yang dipimpin oleh Ir Soekarno pada tahun 1968 yang di sebut awal orde baru. Energi dakwah pada periode ini banyak terkuras untuk gerakan politik yang dilakukan para pimpinan Muhammaduyah. Namun, setelah dilakukan evaluasi bahwa gerakan dakwah memalui jalur politik tidak bisa mempercepat pencapaian tujuan Muhammadiyah, maka pada tahun 1971 Muhammadiyah memberlakukan kittah untuk tidak berpolitik yang di putuskan dalam Muktamar ke-38 di Ujung Pandang tahun 1971.
Perkembangan Muhammadiyah pada masa orde baru dan reformasi berlangsung cukup pesat. Kinerja dan organisasi amal usaha Muhammadiyah berkembang secara bagus, baik dari sisi kualitas maupun kuantitas.
Perjalanan sejarah Muhammadiyah pada masa Orde Baru pasca Muktamar ke-44 di Jakarta dan masa reformasi dapat dilihat dalam kiprah dan kepemimpinan Muhammadiyah, yaitu:

1.      Kepemimpinan K. H. Faqih Usman (1968 – 1971)
Kemajuan yang di capainya adalah:
a.    Beliau pernah memimpin Majalah Bintang Islam sebagai media cetak Muhammdiyah wilayah jawa timur.
b.    Beliau banyal terlibat dalam aktivitas politik negeri ini. Ia perna dipercaya pemerintah RI untuk menjadi Menteri Agama pada masa kabinet Halim Perdanakusuma tahun 1951.
c.    Beliau perna menjadi Wakil Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah pada masa kepengurusan Badawi (1962 – 1965), ia merumuskan sebuah konsep pemikiran yang kemudian dikenak dengan kepribadian Muhammdiyah.
2.      Kepemimpinan Abdul Rozak Fachruddin (1971 – 1990)
Abdul Rozak Fachruddin adalah ulama besar berwajah sejuk dan bersahaja yang lebih di kenal dengan nama Pak AR. Kesejukannya menjadi pemimpin umat islam juga bisa dirasakan oleh umat beragama lain, ketika beliau menyambut kunjungan Paus Yohanne Paulus II di Yogyakarta. Ia mengkritik bahwa umat katolik banyak menggunakan kesempatan untuk mempengaruhi umat islam yang masih menderita agar mau masuk ke agama katolik. Umat islam di bujuk dan di rayu agar pinda agama. Dalam tulisannya pada Uskup Yohanes Paulus II, ia mengungkapkan bahwa agama harus disebarluaskan dengan cara – cara yang perwira dan sportif. Kritik ini diterima dengan lapang dada oleh umat agama lain karena disampaikan dengan lembut dan sejuk serta dijiwai denan semangat toleransi yang tinggi.
3.      Kepemimpinan K. H. A. Azhar Basyir, MA (1990 – 1995)
Pada masa kepemimpinannya, K. H. A. Azhar Basyir banyak memberi sumbangan pemikiran dan kritik terhadap pemerintah. Melihat kebijakan politik pemerintah akomodatif pada saat itu, terutama kepada umat islam, maka Muhammadiyah menyambut hal itu dengan baik. Hal ini merupakan perhitungan politik Muhammadiyah yang matang bukan dimaksudkan sebagai lat untuk mendapatkan kekuasaan dalam kabinet melainkan untuk menghindarkan diri dari resiko – resiko politik yang terlampau besar.
4.      Kepemimpinan Prof. Dr. H. M. Amien Rais, MA (1995 – 1998)
Pada muktamar muhammadiyah ke-42 di yogyakarta ia terpilih sebagai wakil ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah dan juga di tetapkan sebagai pejabat ketua PP Muhammadiyah pada sidang pleno di Jakarta bulan Juli 1994 berkenaan dengan wafatnya ketua PP Muhammadiyah, yaitu Ahmad Azhar Basyir 28 Juni 1994.
Pada tanggal 6-5 juli 1998 berlangsung sidang tanwir Muhammadiyah yang di adakan di Semarang. Momen itu dipakai oleh Amin Rais untuk menyampaikan agenda Muhammadiyah era pasca Soeharto yang terdiri dari agenda internal an eksternal.
Agenda Internal:
a.    Menyiapkan muktamar tahun 2000 dengan sasaran menemukan kepemimpinan yang lebih muda, kreatif, dan kompak serta responsif menyongsung tunas-tunas muhammadiyah abad ke-21.
b.    Membina pembibitan kader pada seluruh tingkatan, dari ranting sampai pusat.
c.    Membangun kerjasama antar ortom secara lebih rafi dan efisien.
d.   Meningkatkan kualitas dan kuantitas seluruh amal usaha muhammadiyah tetap survive.
e.    Menggairahkan semangat ber-ZIS (zakat, infak, dan shodaqoh).
Agenda Eksternal:
a.    Bergabung dengan kekuatan – kekuatan reformis untuk mewujudkan reformasi total.
b.    Menjadikan kepentingan rakyat, menjadi langkah – langkah orientasi Muhammadiyah kedepan bukan kepentingan kekuasaan.
c.    Mengibarkan panji – panji amar ma’ruf nahi mungkar di segala bidang kehidupan sesuai dengan kemampuan maksimal Muhammadiyah.
d.   Membangun jaringan kerjasama nasioanal dan internasioanal secara transparan.
e.     Memelihara kerjasama yang baik dengan pemerintah, termasuk ABRI/TNI, dalam rangka mencapai cita – cita proklamasi bangsa Indonesia.
7.      Muhammadiyah Pasca Reformasi dan Muktamar ke-45 di Malang
1.      Orientasi Gerakan
Muhammadiyah memerluakan pembaharuan yang bersifar reformis untuk menghadapi perkembangan kontemporer. Bagi organisasi Muhammadiyah mungkin pembaharuan (tajdid) reformatif merupakan pilihan yang lebih realistik dari pada perubahan radikal, terutama perubahan yang menyangkut idealisme atau nilai – nilai fundamental dalam persayarikatan.
Pada periode ini Muhammadiyah tidak berpolitik praktis tetapi mendukung gerakan politik yang mengarah pada perwujudan negara yang baik dan bersih (good gavernance dan clean gaverment). Selain itu, Muhammadiyah juga melakukan pemberdayaan masyarakat melalui pembinaan yang bersifat mempengaruhi kebijakan negara dengan perjualan moral untuk mewujudkan masyarakat yang utama.
2.      Kepemimpinan Muhammadiyah Pascareformasi
Pascareformasi yang ditandai dengan lengsernya Soeharto, Muhammadiyah dituntut untuk tetap berpartisipasi dalam mendorong terwujudnya reformasi menyeluruh, utamanya reformasi politik.
Adapun tongkat kepemimpinan Muhammadiyah selanjutnya di amanakan oleh:
1.    Prof. Dr. H. A. Syafi’i Ma’arif (1998 – 2005)
Syafi’i Ma’arif dipilih sebagai ketua PP Muhammadiyah melalui sidang pleno Pimpinan Pusat Muhammadiyah. Akhirnya, tongkat kepemimpinan muhammadiyah di pegang sampai muktamar ke-44 tahun 2000 di Jakarta. Kemudian ia terpilih menjadi Pimpinan Pusat Muhammadiyah untuk masa jabatan 2000 – 2005.
2.    Prof. Dr. H. Din Syamsuddin (2005 – 2010)
Dalam kepemimpinannya, beliau banyak memberi kontribusi pemikiran dan gerakan keagamaan dan sosial. Kemudian menekankan pada orientasi sosial dan peneguhan ideologi kader.
Selain itu, gerakan dakwah yang dikembangkan adalah dakwah kultural, yaitu melakukan dakwa dengan mengoptimalkan penggunaan kondisi lokal indonesia dengan menanamkan nilai – nilai islam sesuain dengan al-Qur’an dan hadits.
Beliau juga mempertahankan khittah politik yang telah di sepakati olaeh persyarikatan. Muhammadiyah diteguhkan sebagai gerakan dakwah dan tidak terlibat dengan politik praktis. Bahkan beliau juga mengatakan, pendiri PAN memang para elit Muhammadiyah namun bukan berarti PAN milik Muhammadiyah. Tujuan menjaga jarak dengan partai politik ini adalah agar kader Muhammadiyah lebih memperhatikan aspek sosial dan keagamaan yang lebih penting untuk di perbaharui.
2.3  Makna Gerakan Keagamaan Muhammadiyah
Berdasarkan sejarah Muhammadiyah sejak didirikan, latar belakang, aspirasi, motif, cita – cita, amal usaha dan lainnya, terlihat bahwa Persyarikatan ini mempuyai ciri khas dan identitas yang menempel pada dirinya. Berbagai ciri khas ini adalah satu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan antara satu dengan lainnya, dan dapat dilihat secara mudah oleh siapa saja yang sepintas mau memperhatikannya. Identitas itu adalah Muhammadiyah sebagai gerakan islam, sebagai gerakan dakwah amal ma’ruf nahi mungkar, dan sebagai gerakan tajdid.
Selain itu, Muhammadiyah juga tidak lepas dari dinamika kehidupan berbangsa dan bernegara, mulai dari zaman penjajahan, kemerdekaan, Orde Lama, Orde Baru, hingga Orde Reformasi Kontemporer. Dalam berbagai pengolokan yang terjadi di Republik Indonesia, Muhammadiyah tidak tinggal diam untuk memberi kontribusi dan sumbangsih bagi kemajuan bangsa. Keterlibatan inilah yang membuat Muhammadiyah juga identik sebagai gerakan nasional, dan menjadi identitasnya, meski secara formal tidak di cantumkan dalam Anggaran Dasar maupun Anggaran Rumah Tangga (ART) Muhammadiyah.

2.3.1        Muhammadiyah sebagai Gerakan Islam
Dalam Muqoddimah AD Muhammadiyah dinyatakan secara jelas, bahwa Persyarikatan Muhammadiyah adalah gerakan Islam yang didirikan pada tanggal 8 Dzulhijah 1330 Hijriyah atau 18 Nopember 1912 Miladiyah. Sedangkan dalam tubuh AD-nya, Muhammadiyah menegaskan bahwa organisasi ini berasaskan Islam, bersumber pada Al-Qur’an dan Sunnah Nabi, yang yang gerakannya melaksanakan amal ma’ruf nahi mungkar dan tajdid, dengan maksud dan tujuan menjunjung tinggi agama Islam sehingga terwujud masyarakat Islam yang sebenar – benarnaya.
Sejak kelahirannya Muhammadiyah memerankan diri sebagai Gerakan Islam, yakni gerakan yang menyebarluaskan dan memajukan hal-ihwa agama Islam di Indonesia. Penegasan dalam Anggaran dasar dan pertautan historis itu menunjukkan bahwa Muhammadiyah adalah organisasi yang tidak lepas dari semangat Islam. Bahkan, kelahiran Muhammadiyah sendiri juga tidak lepas dari pemahaman mendalam yang di lakukan oleh K.H. Ahmad dahlan terhadap Al-Qur’an, khususnya surat Ali Imran: 104. Penelaahan inilah yang mendorong K.H Ahmad Dahlan melakukan berbagai langka taktis dan strategi untuk mengentaskan keterbelakangan umat Islam, dengan mendirikan Persyarikatan Muhammadiyah
Tidak diragukan bahwa eksistensi dan esensi Muhammadiayah sebagai gerakan Islam, bukan gerakan sosial-kemasyarakatan semata. Gerakan kemasyarakatannya hanyalah sebagai atau fungsi transformasi dari gerakan Islam, bukan sesuatu yang berdiri sendiri apalagi terlepas dari gerakan Islam. Kondisi sosio-historis berdirinya Muhammadiyah tidak lain karena diilhamu, dimotivasi, dan disemangati oleh ajaran – ajaran al-Qur’an. Motif gerakannya tidak lain kecuali semata-mata untuk merealisasikan prinsip – prinsip ajaran Islam dalam kehidupan nyata. Gerakanya hendak berusaha menampilkan wajah islam dalam dinamika hidup, yang dapat dihayati, dirasakan, dan dinikmati oleh manusia sebagai rahmatan lil’alamin.
2.3.2        Muhammadiyah sebagai Gerakan Dakwah
Ciri kedua dari gerakan Muhammadiyah dikenal sebagai dakwah Islam, amar ma’ruf nahi mungkar. Ciri yang kedua ini telah muncul sejak dari kelahirannya dan tetap melekat tak terpisahkan dalam jati diri Muhammadiyah. Hal ini di akui ole beberapa pihak yang menyatakan bahwa Muhammadiyah terlihat sebagai penggerakan dakwa yang menekankan pendalaman nilai – nilai Islam dan memiliki kepedulian yang sangat besar terhadap penetrasi misi Kristen di Indonesia.
Adapun tujuan akhir dan tujuan umum dakwa Islam adalah sama dan sebangun dengan tujuan hidup muslim, yaitu:
1.    Tujuan vertikal: mencari keridlaan Allah SWT
2.    Tujuan historis: menyampaikan rahmat bagi seluruh alam semesta. Secara rinci, tujuan ini dapat dijabarkan menjadi tujuan sebagai individu, anggota keluarga, warga lingkunagan, warga bangsa, dan warga dunia.
Sedangkan menurut Abul A’al al-Maududi sebagai mana yang di kutip Musthafa Kamal Pasya dan Ahmad Aoaby Darban, tujuan dakwa Islamnya secara proporsional meliputi 3 sasaran, yaitu:
1.    Agar umat manusia menyembah kepada Allah, tidak akan menyekutukan-Nya dengan sesuatu, dan tidak akan menyembah tuhan selain Allah semata – mata.
2.    Agar umat manusia bersedia menerima Islam sebagai agamanya, memurnikan keyakinannya, hanya mengakui allah sebagai tuhannya, membersihkan jiwanya dan penyakit nifaq (kemunafikan) dan selalu menjaga amal perbuatannya agar tidak bertentangan dengan ajaran agama yang dianutnya.
3.    Dakwah di tujukan untuk merubah sistem pemerintahan yang zalim ke pemerintahan Islam.
Adapun objek yang dijadikan sasaran dakwah (mad’u) Muhammadiyah ada 2 macam, yaitu:
1.    Orang yang belum Islam (umat dakwah)
Dakwah orang yang belum Islam adalah ajakan, seruan, dan panggilan yang sifatnya menggembirakan dan menyenangkan. Cara yang dilakukan adalah dengan menunjukkan mahasin al-Islam (keindahan Islam) melalui tingkah laku, bukan paksaan,. Tujuan utamanya adalah agar mereka mengerti, memahami ajaran Islam, serta mau menerima Islam sebagai agamanya.
2.    Orang yang sudah Islam (umat ijabi)
Sifat dakwah yang dilakukan kepada orang yang sudah Islam bukan lagi bersifat ajakan untuk menerima Islam sebagai agamanya, tetapi bersifat tajdid dalam arti pemurnian. Artinya, dakwah yang dilakukan kepada golongan ini adalah menata kembali amal keagamaannya agar sesuai dengan ajaran Islam yang berdasarkan al-Qur’an dan Hadits Nabi.

2.3.3        Muhammadiyah sebagai Gerakan Tajdid
Ciri ketiga yang melekat pada persarikatan muhammadiyah adalah sebagai gerakan tajdid atau gerakan revormasi. Menurut paham Muhammadiyah, tajdid mempunyai dua pengertian, ibarat dua sisi dari mata uang. Pertama, mengandung pengertian purifikasi dan reformasi: yaitu, pembaruan dalam pemahaman dan pengalaman ajaran islam kearah keaslian dan kemurniannya sesuai dengan al-Qur’an dan al-Sunnah al-Maqbulah. Dalam pengertian pertama ini di terapkan pada bidang aqidah dan ibadah mahdhah.
Kedua, mengandung pengertian modernisasi atau dinamisasi (pengembangan) dalam pemahaman dan pengamalan ajaran islam sejalan dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi serta perubahan masyarakat. Pengertian yang kedua di terapkan pada masalah muamalah duniawiyah. Tajdid dalam pengertian ini sangat di perlukan. Terutama setelah memasuki era globalisasi, karena pada era ini bangsa bangsa di dunia mengalami hubungan antar budaya yang sangat kompleks.
Sebagai gerakan tajdid, muhammadiyah telah melahirkan berbagai prestasi yang mengagumkan. Diantarannya adalah:
1.    Membersikan Islam dari pengaruh dan kebiasaan yang bukan Islam
2.    Reformulasi doktrin Islam dengan pandangan alam pikiran moderen
3.    Reformulasi ajaran Islam dan pendidikan Islam
4.    Mempertahankan Islam dari pengaruh dan serangan orang di luar Islam

2.3.4        Muhammadiyah sebagai Gerakan Nasional
Pendiri organisasi K. H. Ahmad Dahlan adalah orang yang tidak pernah menempuh pendididkan modern. Tidak heran jika Deliar Noer langsung mencatat muhammadiyah sebagai organisasi islam yang terpenting di indonesia ”sebelu perang dunia II dan mungkin juga sampai saat sekarang ini”.
Sejak berdiri pada tahun 1912, Muhammadiyah memang menjahui jalur perjuangan politik dan memilih jalur pendidikan. Begitu muncul, Muhammadiyah segera mlakukan program pembaharuannya dalam tiga bidang, yaitu keagamaan, kemasyarakatan, dan pendidikan. Munculnya Muhammadiyah sebagai gerakan sosial keagamaan dalam sosial budaya waktu itu merupakan “eksperimen sejarah” yang cukup spektakuler.
Muhammadiyah berkiprah di tengah – tengah masyarakat bangsa indonesia dengan membangun berbagai amal usaha yang benar – benar dapat menyentuh hajat orang banyak, seperti berbagai ragam lembaga pendidikan dari sejak kelompok bermain, taman kanak – kanak, hingga perguruan tinggi, juga sekian banyak lembaaga kesehatan dan pelayanan sosial, seperti rumah sakit, panti asuhan dan sebagainya. Seluruh amal usaha Muhammadiyah tidak lain merupakan manifestasi atau perwujudan dakwa islamiyah. Semua amal usaha diadakan dengan niat dan tujuan yang tunggal, yaitu untuk dijadikan sarana dan wahana dakwah islam sebagaimana yang diajarkan oleh Al-Quran dan As-Sunnah Shahihah.

2.4    Gerakan Tajdid Pada 100 Tahun Kedua
       Tantangan yang dihadapi Muhammadiyah pada abad pertama usianya  pasti berbeda dari  abad kedua usianya, meskipun kontinuitasnya antara keduanya tetap ada. Untuk itu, Paradigma, Model, dan Strategi Tajdidnya juga harus disesuaikan dengan perkembangan terbaru discourse keislaman baik dalam teori maupun praktek. 
       Muhammadiyah harus melakukan upaya pembaharuan from within, yang meliputi strategi pembaharuan gerakan pendidikan yang selama ini digelutinya, mengenal dengan baik dan mendalam metode dan pendekatan kontemporer terhadap studi Islam dan Keislaman era klasik dan lebih-lebih era kontemporer, mendekatkan dan mendialogkan Islamic Studies dan Religious Studiesbersikap inklusif terhadap perkembangan pengalaman dan keilmuan generasi mudanya, terbuka, mengenalkan dialog antar budaya dan agama di akar rumput, memahami Cross-cultural Values dan multikulturalitas, dalam bingkai fikih NKRI, dan begitu seterusnya.
       Tanpa menempuh langkah-langkah tersebut, gerakan pembaharuan Islam menuju ke arah terwujudnya Masyarakat dan Peradaban Utama di tanah air ini, tentu akan mengalami kesulitan bernapas dan kekurangan oksigen untuk menghirup dan merespon isu-isu sosial-keagamaan global dan isu-isu peradaban Islam kontemporer.
       Untuk konteks keindonesiaan, Ikon perjoangan meraih “Islam yang berkemajoean” sepertinya tetap menarik untuk diperbincangkan dan didiskusikan sepanjang masa. Dengan begitu kontinuitas dan kesinambungan perjoangan antara generasi abad pertama dan generasi penerus abad kedua masih terpelihara, sebagaimana dicanangkan dan dipesankan oleh founding fathers Muhammadiyah terdahulu.
       Dalam memasuki fase kedua gerakannya, yakni memasuki abad kedua perjalanan sejarah Muhammadiyah, sudah tinggi waktu dan kesempatan untuk melakukan pembaruan paradigma tajdid di tubuh persyarikatan ini. Kodifikasi dan konsensus tajdid yang terpadu atau eklektik antara purifikasi dan dinamisasi dapat menjadi titik tolak bagi transformasi paradigma tajdid Muhammadiyah. Selain tidak akan terjebak pada ekstrimitas yang radikal baik ke arah “radikal kiri” maupun “radikal kanan” dalam pemikiran Islam, transformasi tajdid yang bercorak purifikasi dan dinamisasi sekaligus memberikan jalan keluar atau solusi untuk melakukan rancang bangun tajdid jilid kedua bagi Muhammadiyah saat ini dan ke depan dalam usianya yang memasuki satu abad menuju era baru abad berikutnya.
Dalam transformasi orientasi tajdidnya, Muhammadiyah di satu pihak tidak terjebak pada pemurnian semata minus pembaruan, sebaliknya pembaruan tanpa peneguhan, sehingga terdapat ruang untuk transformasi atau perubahan secara seimbang antara pemurnian dan pengembangan atau antara peneguhan dan pencerahan. Namun paradigma dan strategi yang eklektik atau tengahan seperti itu jika dibiarkan sekadar normatif belaka  maka hanya akan indah di ranah teori atau klaim tetapi sering tidak aktual atau mewujud dalam kenyataan secara jelas dan tegas. Jika tanpa rancang-bangun yang jelas tajdid purifikasi dan dinamisasi bahkan dapat melahirkan kecenderungan kehilangan dua-duanya, yakni tidak pemurnian sekaligus tidak pembaruan. Di sinilah pentingnya transformasi paradigmatik  dalam orientasi  tanjdid purifikasi plus dinamisasi atau dinamisasi plus purifikasi dalam gerakan Muhammadiyah.
Dalam penyusunan rancang-bangun paradigma tajdid yang integratif atau eklektik antara purifikasi dan dinamisasi, Muhammadiyah diperlukan penyusunan agenda-agenda strategis yang sifatnya menyusun ulang bangunan konseptual yang selama ini telah dimiliki Muhammadiyah dengan keberanian untuk mengambil keputusan tanpa sering terjebak pada sikap mauquf. Jika sejumlah hal mauquf terus maka akan ada kevakuman atau stagnasi dalam gerakan, kendati sikap kehati-hatian itu tetap diperlukan. Namun hati-hati terus menerus tanpa berani mengambil keputusan maka akan menjadi agenda yang tidak berkesudahan, padahal Muhammadiyah harus terus bergerak menghadapi masalah-masalah dan tantangan-tantangan baru. Dua materi strategis dapat diselesaikan dalam Muhammadiyah menyangkut fondasi pemikiran yang fundamental dalam gerakan Islam ini. 
Pertama, menyelesaikan atau memulai kembali penyusunan buku Risalah Islamiyah yang berisi tentang Islam dalam berbagai aspeknya yang menjadi pandangan resmi Muhammadiyah. Tanpa memiliki pandangan yang substantif dan komprehensif mengenai Islam maka akan sering terjadi tarik-menarik pandangan dalam Muhammadiyah mengenai hal-hal yang fundamental mengenai aspek-aspek ajaran Islam. Materi dalam al-Masail al-Khamsah (Masalah Lima) mengenai mâ hua al-din (apa itu agama), Matan Keyakinan dan Cita-Cita Hidup Muhammadiyah, Pedoman Hidup Islami Warga Muhammadiyah, dan berbagai rumusan resmi lainnya dapat menjadi dasar bagi perumusan Risalah Islam dalam pandangan Muhammadiyah. Dalam Risalah Islam itu dibahas dan dijelaskan pula secara komprehensif mengenai pandangan Islam tentang perempuan, sehingga menghasilkan pandangan yang substantif, mendalam,  dan luas dari Muhammadiyah.
Perumusan dan elaborasi Risalah Islam yang komprehensif sekaligus dapat menjadi jawaban atas keperluan Muhammadiyah untuk memberi substansi atas slogan al-ruju’ ila al-Quran wa al-Sunnah sebagaimana selama satu abad perjalanannya telah menjadi ikon sekaligus tema gerakan yang nyaring. Warga Muhammadiyah memerlukan pengetahuan yang luas dan mendalam mengenai isi dan metodologi tentang apa, kenapa, dan bagaimana caranya harus Kembali kepada Al-Quran dan As-Sunnah (yang maqbulah). Jika Muhammadiyah telah meneguhkan dirinya sebagai Gerakan Islam, maka Islam yang seperti apa yang diyakini, dipahami, dan diamalkan oleh Muhammadiyah. Pokok-pokok pikiran tentang Islam sebagaimana terkandung dalam al-Masail al-Khamsah, Matan Keyakinan dan Cita-cita Hidup Muhammadiyah, Pedoman Hidup Islami Warga Muhammadiyah, dan sebagainya merupakan materi awal dan pokok untuk kepentingan perumusan dan penyusunan Risalah Islam tersebut. Umat Islam lain dan pihak luar juga dapat memiliki rujukan yang jelas apa dan bagaimana sebenarnya pandangan Muhammadiyah tentang Islam yang bersifat komprehensif.
Kedua, mengembangkan konsep secara tuntas dan luas tentang Manhaj Tarjih mengenai tiga pendekatan dalam memahami Islam yaitu bayani, burhani, dan irfani. Pengembangan yang bersifat elaborasi terhadap manhaj tarjih tersebut sangat diperlukan untuk memperluas cakrawala metodologis dalam pengembangan pemikiran Islam di lingkungan Muhammadiyah. Dengan paradigma purifikasi dan dinamisasi maka pengembangan atau elaborasi pendekatan bayani, burhani, dan irfani akan menghasilkan konstruksi metodologis yang jelas dan luas dari manhaj tarjih. Jangan biarkan di antarea warga Muhammadiyah terjebak pada logika saling sesat-menyesatkan tanpa ilmu hanya karena kehilangan pegangan dan perspektif mengenai metodologi pemikiran Islam yang dipedomani dalam Muhammadiyah.
Elaborasi metodologi bayani, burhani, dan irfani juga diperukan agar diperoleh pedoman yang jelas sekaligus menyelesaikan kontroversi pada masing-masing pendekatan. Ketiga pendekatan yang bersifat integratif tersebut (bayani, burhani, irfani) sebenarnya dapat memecahkan atau merupakan jalan keluar dari kebuntuan atau ekstrimitas yang selama ini menjadi bagian yang dianggap krusial dalam dunia pemikiran Muhammadiyah antara garis ekstrem kelompok radikal-tekstual versus radikal-kontekstual atau kategori lain yang sejenis yang saling berlawanan secara diametral. Langkah yang diperlukan ialah pertama melakukan teoritisasi di mana ketiga pendekatan tersebut ditarik ke level epistemologi agar manhaj Tarjih, Tajdid, dan Pemikiran Islam dalam Muhammadiyah memiliki bangunan epistemologis yang kokoh dan berada dalam paradigma perspektivisme (banyak perspektif, tidak tunggal) baik yang terintegrasi dengan ilmu-ilmu Islam klasik maupun kontemporer. Kedua, elaborasi metodologis, yakni menurunkan kerangka berpikir pada ketiga pendekatan tersebut ke dalam berbagai cara berpikir (metode) yang lebih detail terutama ketika menjelaskan dimensi-dimensi ajaran Islam seperti aqidah, ibadah, akhlak, dan mu’amalat-dunyawiyah pada tataran praksis. Dengan demikian diperoleh perspektif pengembangan pemikiran Islam yang komprehensif dan memiliki landasan yang kokoh dalam ajaran Islam.
Ketiga, mengagendakan tajdid di bidang dakwah, organisasi, amal usaha, pengembangan kader dan anggota, dan berbagai model aksi gerakan agar Muhammadiyah tampil menjadi gerakan Islam yang unggul dan bergerak di garis depan dalam dinamika kehidupan umat, bangsa, dan perkembangan global. Modsel modernis-reformis perlu dikembangkan menjadi model transformatif yang lebih dinamis, kaya pemikiran, dan langsung ke jantung persoalan-persoalan struktural dan kultural dalam mencari solusi atas masalah-masalah yang terjadi dalam masyarakat. Muhammadiyah dengan seluruh komponen dan lini organisasinya tidak cukup memadai hanya bertahan dengan strategi dan model gerakan seperti sekarang ini, yang cenderung formalistik, rutin, dan bertahan dengan status-quo yang dimiliki. Muhammadiyah sebagai organisasi dituntut untuk tampil lebih reformis, produktif, emansipatoris, dan partisipatoris di tengah lalulintas dinamika gerakan-gerakan keagamaan dan gerakan-gerakan sosial-kemasyarakatan yang semakin kompetitif saat ini.  Muhammadiyah bahkan perlu memiliki militansi yang lebih kuat agar kebesaran dirinya tidak kalah lincah dan dinamis dari gerakan-gerakan lain di negeri ini, yang dalam bahasa Pak AR Fakhruddin (Allahu yarham) tidak menjadi gajah bengkak yang besar tetapi lambat bergerak.









BAB III
PENUTUP

3.1 Simpulan
Tajdid mengandung pengertian purifikasi dan reformasi yaitu pembaruan dalam pemahaman dan pengalaman ajaran islam ke arah keaslian dan kemurniannya sesuai dengan al-Qur’an dan as-sunnah. Kedua, mengandung pengertian modernisasi atau dinamisasi (pengembangan) dalam pemahaman dan pengamalan ajaran islam sejalan dengan kemjuan ilmu pengetahuan dan teknologi serta perubahan masyarakat.
takhrij adalah menelusuri suatu hadis kesumber asalnya yaitu kitab-kitab Jami, sunan, dan musnad kemudian jika diperlukan menyebutkan kualitas hadis tersebut apakah sohih, hasan atau doif.
          Dalam melaksanakan takhrij ada lima cara yang dapat dijadikan pedoman yaitu:
1.    Takhrij menurut lafaz pertama matan hadis
2.    Takhrij menurut lafaz-lafaz yang terdapat dalam matan 
3.    Takhrij menurut rawi pertama
4.    Takhrij menurut tema hadis
5.    Takhrij menurut status hadis
            Warga Muhammadiyah memerlukan pengetahuan yang luas dan mendalam mengenai isi dan metodologi tentang apa, kenapa, dan bagaimana caranya harus Kembali kepada Al-Quran dan As-Sunnah (yang maqbulah). Jika Muhammadiyah telah meneguhkan dirinya sebagai Gerakan Islam, maka Islam yang seperti apa yang diyakini, dipahami, dan diamalkan oleh Muhammadiyah. Pokok-pokok pikiran tentang Islam sebagaimana terkandung dalam al-Masail al-Khamsah, Matan Keyakinan dan Cita-cita Hidup Muhammadiyah, Pedoman Hidup Islami Warga Muhammadiyah, dan sebagainya merupakan materi awal dan pokok untuk kepentingan perumusan dan penyusunan Risalah Islam tersebut.





DAFTAR PUSTAKA

Hasyim, Umar. 1990. Muhammadiyah Jalan Lurus dalam Tajdid, Dakwah, Kaderisasi dan Pendidikan (Kritik dan Terapinya). Surabaya: PT. Bina Ilmu.
Djarir, Ibnu, Revitalisasi Gerakan Tajdid. Semarang: Harian Suara Merdeka, Edisi Kamis, 16 Nopember 2006. Hhtp:// www.suaramerdeka.com/ harian/ 0611/ 16/ opi03.htm.
Jainuri, Achmad, Ideologi Kaum Reformis. Surabaya : Lembaga Pengkajian Agama dan Masyarakat, 2002.


0 komentar:

Posting Komentar

By :
Free Blog Templates